Revisi UU KPK akan mengacaukan sistem peradilan pidana antikorupsi
Revisi UU KPK menunjukkan DPR belum memperlihatkan keseriusan membantu berantas korupsi yang sudah menggurita.
Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA) menolak rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena dinilai akan melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kepala SAKA Mahmuddin menilai, adanya revisi UU KPK menunjukkan DPR belum memperlihatkan keseriusan untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita di Tanah Air.
Dengan masuknya draf revisi UU KPK dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016, sebutnya, isinya sebagian besar akan melemahkan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi.
"Dengan niat untuk menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar, kami menolak dengan tegas Revisi Undang-Undang No 30 tahun 2002 tentang KPK, karena telah melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Mahmuddin di Banda Aceh, Kamis (11/2).
Mahmuddin mencontohkan, salah satu pasal yang melemahkan KPK tentang penyadapan yang mewajibkan izin tertulis dari Dewan Pengawas (Pasal 12B ayat (2) juncto Pasal 12A Poin b Revisi UU KPK). Kemudian penyitaan penyidik dengan izin dari Dewan Pengawas (Pasal 47 Revisi UU KPK).
"Ini bentuk kemudharatan dan pelemahan KPK secara berganda," sebutnya.
Bila ini terjadi akan memperlambat KPK, khususnya penyelidik maupun penyidik dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi. Karena bukan tidak mungkin Dewan Pengawas tidak akan memberikan izin penyadapan maupun penyitaan.
Katanya, revisi UU KPK ini juga akan mengacaukan sistem peradilan pidana antikorupsi (anti-corruption criminal justice system). Karena masuknya intervensi lembaga non-penegak hukum, yaitu Dewan Pengawas dalam teknis penegakan hukum.
"Selain itu, revisi ini telah merusak prinsip kemandirian fungsi penegakan hukum. Dewan Pengawas bentuk intervensi nyata dari pemerintah. Hal ini bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan (Sparation of Power) dalam negara hukum modern (welfare state)," jelasnya.
Pembatasan kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik dan penyidik yang harus dari unsur Kepolisian atau Kejaksaan (Pasal 43 juncto pasal 45 Revisi UU KPK). Mahmuddin menyebutkan ini akan memasung prinsip independensi KPK.
"Harusnya kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik maupun penyidik harus tetap dilakukan secara mandiri dan independen berbasis kompetensi kerja, bukan atas dasar unsur perwakilan/status sebagai pegawai kepolisian atau kejaksaan," tutupnya.