Revisi UU Pilkada, ini dua pasal sanksi tegas politik uang
Revisi ini ditargetkan selesai pada bulan Maret mendatang.
Pemerintahan serius melakukan pemberantasan politik uang dalam demokrasi. Terlihat dalam revisi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tengah diajukan dua pasal untuk menindak tegas pelaku tindakan tercela tersebut.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono mengatakan, pihaknya telah mengusulkan dua pasal dalam revisi undang-undang pilkada tersebut. Dalam dua pasal tersebut terdapat sanksi yang akan dikenakan kepada oknum maupun partai politik yang melakukan politik uang.
"Bagi siapa yang menerima politik uang dipertegas. Sudah disebutkan dua pasal tersendiri untuk mengatur sanksi yang semula tidak diatur soal politik uang. Dua pasal itu di Pasal 187A dan Pasal 187B," tegasnya di Kemendagri, Jakarta, Rabu (24/2).
Sedangkan, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai pemerintah masih belum memiliki komitmen tegas memberantas politik uang sebelumnya.
"Bicara mengharamkan politik uang, tapi penalti tidak ada. Tidak heran, tidak satu kasus politik uang yang berujung sengketa di pengadilan. Harus ada pasal sanksi. Tidak bisa pakai pasal komitmen," tambahnya.
Sekadar diketahui, Pasal 187A terdiri atas dua ayat. Ayat (1) berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada Warga Negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)."
Ayat (2) berbunyi: "Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."
Sementara Pasal 187B berbunyi: "Anggota Partai Politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan menerima imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dipidana dengan pidana paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh ) bulan dan denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah)."
Terkait waktu revisi, Kementerian Dalam Negeri menargetkan pembahasan revisi undang-undang ini akan selesai dibahas bersama DPR bulan Maret 2016.
"Revisi UU Pilkada disiapkan mengejar Pilkada Serentak tahap kedua pada 2017. Sekarang kita tidak punya waktu lama. Maret ini harus sudah kita bahas dengan DPR. Bulan April atau Mei bisa langsung digunakan," kata Sumarsono.
Sumarsono menambahkan, pihaknya telah menyiapkan draf setebal 24 halaman dan rencananya akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. Setelah mendapatkan persetujuan Jokowi maka akan diserahkan kepada DPR untuk dibahas dan disahkan.
"Apa yakin pembahasan dengan DPR bisa satu bulan selesai? Substansi kita sudah diskusikan dengan Komisi II DPR. Saya punya keyakinan ini cepat selesai," tambahnya.
Sumarsono memperkirakan akan terjadi tarik menarik terkait perubahan revisi ini, terutama aturan yang mengharuskan anggota DPR, DPD, DPRD maupun PNS mundur jika ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Selain itu, rencana pemberian sanksi bagi partai yang tidak mengajukan pasangan calon juga akan menjadi pembahasan.
"Kemudian mereka (DPR) menolak diberikan sanksi. Karena hak parpol mencalonkan atau tidak. Dalam posisi inilah akan ada perbedaan dengan DPR, itu wajar dalam dinamika pembahasan," pungkasnya.