Awasi Politik Uang, Bawaslu akan Patroli Saat Masa Tenang Pilkada 2024
Berdasarkan jadwal yang ditetapkan KPU, masa tenang Pilkada dimulai pada 24 sampai 26 November 2024.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan melakukan patroli pengawasan pada masa tenang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Berdasarkan jadwal yang ditetapkan KPU, masa tenang Pilkada dimulai pada 24 sampai 26 November 2024.
“Jadi kami melakukan patroli pengawasan,” kata Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, Rabu (20/11).
Selain patroli pengawasan, Bawaslu juga berkoordinasi dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan aparat keamanan untuk memantau praktik pelanggaran Pemilu, seperti politik uang.
“Agar tidak terjadi hal-hal politik uang, pembagian sembako di hari masa tenang,” ucap dia.
Wilayah Rawan Konflik
Bawaslu telah memetakan daerah rawan konflik di Pilkada 2024. Daerah itu di antaranya Sampang (Jawa Timur), Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat.
Bagja mengatakan, pihaknya sudah menyampaikan warning kepada Bawaslu daerah yang masuk kategori rawan konflik untuk mengawasi ketat jelang pencoblosan.
“Kami sudah sampaikan, yang calonnya kotak kosong, kolom kosong, atau kemudian, atau calon pasangan tunggal, atau calonnya hanya dua. Itu biasanya tingkat kompetisinya tinggi,” ucapnya.
Sebelumnya, Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) mengungkap potensi kerawanan konflik di daerah yang menggelar Pilkada serentak 2024.Sekjen Wantannas, Laksdya TNI T.S.N.B Hutabarat membagi, tingkat kerawanana Pilkada 2024 menjadi tiga bagian.
"Yaitu rawan tinggi sebanyak 5 provinsi atau 15 persen. Rawan sedang sebanyak 21 provinsi atau 62 persen dan rawan rendah sebanyak 8 provinsi atau 24 persen," kata Hutabarat saat rapat bersama dengan Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (14/11).
Jenderal bintang tiga ini menyebut, potensi kerawanan dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2024 bisa terjadi saat pendaftaran pasangan calon.
"Melalui penyebaran hoaks, isu SARA, dan ujaran kebencian, netralitas aparatur, mobilisasi pendukung paslon yang bermuatan identitas dan sengketa antara calon perseorangan dengan lembaga penyelenggara Pemilu," terang dia.
"Kedua pada saat pelaksanaan kampanye, seperti adanya black campaign, money politics, bentrok antar pendukung, dan pengrusakan alat kampanye," sambungnya.
Kemudian, pada saat pengadaan menurutnya bisa terjadi distribusi logistik yang tidak tepat waktu, manipulasi dan data logsitik Pemilu. Kemudian, kekurangan logsitik yang diterima oleh TPS serta adanya teror dan intimidasi oleh kelompok-kelompok tertentu.
"Pada masa tenang adanya kampanye terselubung, money politik dari paslon dan kampanye melalui akun anonim media sosial. Pada pemungutan suara, adanya gangguan ancaman teror dan intimidasi misalnya dari OPM," ucapnya.
"Manipulasi pelaksanaan pemungutan suara di wilayah pedalaman, dan pemungutan dan pencoblosan suara dengan sistim noken atau ikat. Pada penghitungan suara dan rekapitulasi hasil unjuk rasa, unjuk rasa untuk dilaksanakannya pemilihan ulang, penolakan calon terpilih yang bukan dari orang asli atau anak adat. Pengerahan massa dan pengerusakan fasilitas umum," tambahnya.
Sedangkan, pada pengucapan janji calon terpilih bisa dilaksanakan unjuk rasa, penolakan calon terpilih.
"Adanya upaya penggagalan pada saat pengambilan sumpah atau janji paslon dan bentrok yang berujung anarkisme antara masa pendukung dan massa paslon dengan aparat keamanan," pungkasnya.