Ini Daerah Rawan Konflik Pilkada 2024, Apa Saja Pemicunya?
Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) mengungkap potensi kerawanan konflik di daerah yang menggelar Pilkada serentak 2024.
Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) mengungkap potensi kerawanan konflik di daerah yang menggelar Pilkada serentak 2024.
Sekjen Wantannas, Laksdya TNI T.S.N.B Hutabarat membagi, tingkat kerawanana Pilkada 2024 menjadi tiga bagian.
Hal ini disampaikan saat rapat bersama dengan Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (14/11).
"Yaitu rawan tinggi sebanyak 5 provinsi atau 15 persen. Rawan sedang sebanyak 21 provinsi atau 62 persen dan rawan rendah sebanyak 8 provinsi atau 24 persen," kata Hutabarat.
Jenderal bintang tiga ini menyebut, potensi kerawanan dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2024 bisa terjadi saat pendaftaran pasangan calon.
"Melalui penyebaran hoaks, isu SARA, dan ujaran kebencian, netralitas aparatur, mobilisasi pendukung paslon yang bermuatan identitas dan sengketa antara calon perseorangan dengan lembaga penyelenggara Pemilu," terang dia.
Black Campaign
"Kedua pada saat pelaksanaan kampanye, seperti adanya black campaign, money politics, bentrok antar pendukung, dan pengrusakan alat kampanye," sambungnya.
Kemudian, pada saat pengadaan menurutnya bisa terjadi distribusi logistik yang tidak tepat waktu, manipulasi dan data logsitik Pemilu.
Kemudian, kekurangan logsitik yang diterima oleh TPS serta adanya teror dan intimidasi oleh kelompok-kelompok tertentu.
"Pada masa tenang adanya kampanye terselubung, money politik dari paslon dan kampanye melalui akun anonim media sosial. Pada pemungutan suara, adanya gangguan ancaman teror dan intimidasi misalnya dari OPM," ucapnya.
Wilayah Pedalaman
"Manipulasi pelaksanaan pemungutan suara di wilayah pedalaman, dan pemungutan dan pencoblosan suara dengan sistim noken atau ikat. Pada penghitungan suara dan rekapitulasi hasil unjuk rasa, unjuk rasa untuk dilaksanakannya pemilihan ulang, penolakan calon terpilih yang bukan dari orang asli atau anak adat. Pengerahan massa dan pengerusakan fasilitas umum," tambahnya.
Sedangkan, pada pengucapan janji calon terpilih bisa dilaksanakan unjuk rasa, penolakan calon terpilih.
"Adanya upaya penggagalan pada saat pengambilan sumpah atau janji paslon dan bentrok yang berujung anarkisme antara masa pendukung dan massa paslon dengan aparat keamanan," pungkasnya.