Ritual Nyadran, tradisi Trah Bonokeling menyambut puasa
Upacara tahunan menyambut puasa dan sebagai penanda musim tanam ini hanya bisa diikuti oleh trah Bonokeling.
Ratusan perempuan nampak bergegas. Puluhan jenis makanan untuk disajikan dalam perjamuan besar sudah harus ditata. Malam semakin larut, sementara para lelaki asyik berdiskusi dan sebagian lagi terlelap dalam tidur.
"Tahun ini upacara adat diikuti oleh 1.235 pengikut Bonokeling," terang Kadus I Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang Banyumas, Sabtu (14/7).
Upacara tahunan menyambut puasa dan sebagai penanda musim tanam ini hanya bisa diikuti oleh trah Bonokeling. Mereka berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Sebagian besar harus berjalan kaki untuk menuju makam Bonokeling. Bahkan jaraknya mencapai 40 kilometer. Mereka berjalan tanpa alas kaki sebagai pertanda keprihatinan.
Setelah semalaman melakukan laku perjanjen, pagi harinya pengikut Bonokeling menuju makam untuk berdoa dan mengajukan permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Nampak, asap mengepul tebal. Puluhan laki-laki yang mengenakan ikat kepala batik nampak sedang memasak gulai. Sedangkan kaum perempuan yang mengenakan kemben sebatas dada, hanya duduk menunggu masakan matang.
"Semua dilakukan oleh kaum laki-laki, kaum perempuan dilarang ikut memasak," ujar Sumitro, Ketua Adat Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang Banyumas, saat ditemui Jumat paginya.
Tentu saja, acara masak memasak itu bukan dalam rangka hari ibu atau hari Kartini. Mereka memasak massal untuk persembahan pada acara unggah-unggahan.
Acara ritual yang dilakukan setahun sekali ini digelar oleh ribuan penganut Islam Jawa yang ada di sekitar Banyumas dan Cilacap. Mereka menyebutnya Trah Bonokeling. Hingga saat ini 'kerajaan' Bonokeling
masih tetap terjaga, baik struktur pemerintahan maupun sistem sosialnya.
Ritual unggah-unggahan tersebut merupakan acara puncak menyambut bulan puasa. Meskipun pada awalnya, sebelum Islam datang, acara tersebut dilakukan sebelum masa tanam padi. Peserta ritual berasal dari Banyumas dan Cilacap. Mereka datang ke tempat ritual dengan cara berjalan kaki. Pun saat menuju tempat ritual yang jaraknya bisa mencapai 25 kilometer, mereka dilarang menggunakan alas kaki.
"Ini simbol bahwa manusia harus bersahabat dengan alam, lahir dari tanah dan kembali ke tanah," terang Sumitro.
Djoyosrono (53) pengikut Bonokeling dari Kalikudi Cilacap mengatakan, mereka berangkat dari Cilacap pagi hari. Setelah berjalan hampir enam jam, mereka sampai di tempat ritual.
"Selama dalam perjalanan, kami dilarang untuk berbicara atau tapa bisu," katanya.
Perjalanan jauh tanpa alas kaki ini, kata Djoyosrono, merupakan proses menyucikan diri menjelang bulan puasa. Dari perjalanan tersebut, diharapkan muncul keikhlasan pikir dan perasaan agar dalam menjalankan puasa bisa diterima.
Ritual tahun ini, mereka menyembelih 24 kambing yang merupakan sumbangan dari pengikut Bonokeling. Setelah berdzikir semalaman (dzikirnya menggunakan bahasa Jawa), acara dilanjutkan siang harinya dengan memasak massal.
"Masakan yang telah matang lalu dibawa ke makam Bonokeling untuk didoakan bersama,” terang Kartasari (75) juru kunci makam Bonokeling.
Tidak sembarang orang boleh masuk komplek makam tersebut. Mereka yang boleh masuk harus menggunakan ikat kepala dengan baju berwarna hitam.
Kartasari mengatakan, ritual tersebut merupakan penanda terjaganya warisan leluhur. Meski dia juga tak menolak modernisasi. "Kalau yang sudah tua dan tak sanggup berjalan, boleh naik kendaraan umum," katanya.