Robohnya Fasilitas dan Tenaga Kesehatan Kita
Fasilitas kesehatan di Indonesia hampir roboh diterjang badai Pandemi Covid-19. Tenaga kesehatan kita juga berada di titik nadir.
Hampir lewat tengah malam, Hana masih sibuk mencari Rumah Sakit (RS) penanganan Covid-19 untuk sang paman. Kerabatnya itu dinyatakan sebagai pasien suspect di salah satu RS swasta di Tangerang, Banten. Namun RS tersebut tidak memiliki fasilitas untuk merawat pasien dengan gejala Covid-19.
Rontgen paru-paru menunjukkan hasil kurang baik. Begitu juga saturasi oksigennya 68 persen. Hasil rapid test reaktif. Karena itu sang paman dinyatakan sebagai pasien suspect lantaran menunjukkan gejala infeksi Covid-19.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Bagaimana virus Covid-19 pertama kali masuk ke Indonesia? Kasus ini terungkap setelah NT melakukan kontak dekat dengan warga negara Jepang yang juga positif Covid-19 saat diperiksa di Malaysia pada malam Valentine, 14 Februari 2020.
-
Kapan kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan? Presiden Jokowi mengumumkan hal ini pada 2 Maret 2020, sebagai kasus Covid-19 pertama di Indonesia.
-
Di mana kasus Covid-19 pertama di Indonesia terdeteksi? Mereka dinyatakan positif Covid-19 pada 1 Maret 2020, setelah menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta.
-
Kapan peningkatan kasus Covid-19 terjadi di Jakarta? Adapun kasus positif Covid-19 pada 27 November sampai 3 Desember mengalami kenaikan sebanyak 30 persen dibanding pekan sebelumnya, yaitu pada 20-26 November.
"Om saya reaktif, tapi belum di-swab. Dilihat dari gejalanya, sesak napas. Sudah dirontgen juga paru-parunya, hasilnya tidak bagus. Dokternya curiga omku Covid," kata Hana kepada merdeka.com, Selasa malam (5/1).
Pelajar berusia 18 tahun itu sudah menghubungi 10 rumah sakit di Tangerang. Namun sudah tidak ada lagi tempat bagi pamannya. "10 RS itu bilang sudah penuh bed-nya," kata Hana.
Harap-harap cemas. Gambaran perasaan Hana saat ini. Di tangannya masih ada daftar beberapa rumah sakit yang sudah coba dihubungi. Namun belum memberi kabar. Harapan hampir pupus.
"Saya sebenarnya masih menunggu kabar dari RS lain, tapi sepertinya akan dirujuk ke RS luar Tangerang. Soalnya setahu saya semua RS sudah penuh," pinta Hana.
Pasien Non Covid-19 yang Terlantar
Kisah serupa dialami Arin. Kakak perempuannya didiagnosa mengidap diabetes oleh salah satu RS setelah melakukan tes gula. Namun RS tersebut tidak sanggup lagi merawat pasien.
Arin membawa kakaknya ke RS swasta. Saat diperiksa kembali, kakaknya didiagnosa mengidap penyakit paru-paru dan langsung dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD). Karena kondisinya cukup buruk. Namun tiba-tiba pihak RS merujuk kakak Arin ke rumah sakit lain.
"Saat tiba di RS yang dirujuk, malah ditolak. Alasannya tidak ada dokternya. Akhirnya kita ke RS lain. Nah di RS ketiga juga ditolak karena ruangannya penuh sama pasien Covid-19," kata Arin kepada merdeka.com, Selasa (5/1).
Arin bersabar menemani kakaknya ke RS lain. Namun lagi-lagi, RS keempat yang didatangi menolaknya. Alasan yang sama. Kamar perawatan penuh dengan pasien Covid-19. Kepedihan Arin tak terbendung. Melihat sang kakak 'terlantar'.
"Sedih banget, empat jam lebih tidak ditangani sama RS yang ketiga itu. katanya, dokternya tidak ada. Semua menangani pasien Covid-19," ujarnya.
Malam semakin larut. Arin dan kakaknya memutuskan mendatangi klinik dekat rumahnya. Setidaknya, kakaknya bisa ditangani oleh dokter.
Keesokan harinya, perempuan 23 tahun itu melanjutkan pencarian. Mengetuk satu per satu rumah sakit demi mendapat kamar perawatan bagi kakaknya. Bagaimanapun juga, sang kakak tetap memiliki hak mendapatkan pelayanan kesehatan meskipun tidak terinfeksi Covid-19.
"Sekarang kakak ada di rumah, belum mendapat perawatan sama sekali karena pas di IGD itu belum sempat ditangani dokter. Semoga diterima dan bisa dirawat soalnya kondisi kakak memprihatinkan," ujar Arin.
Fasilitas dan pelayanan kesehatan di Indonesia berada di ujung tanduk. September 2020, pasca libur panjang Hari Kemerdekaan RI, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia melonjak. Kondisi ini membuat masyarakat yang membutuhkan akses pelayanan kesehatan menjadi kesulitan.
Semalam, seorang warga Kuningan, Jawa Barat, Angie juga bersedia berbagi cerita. Pada akhir November 2020, ayahnya mengalami kecelakaan. Tulangnya patah dan cedera organ dalam. Tindakan kesehatan perlu segera diambil. Dia memerlukan dokter spesialis seperti ortopedi, urologi dan gastroenterology.
"Terlantar di ICU RS dekat rumah selama 2 hari. Di RS itu tidak ada dokter spesialis urologi buat angkat ginjal dan thoraxnya, ada masalah di digestive system-nya juga, karena separah itu," kata Angie.
Saat ini, kondisi ayahnya sudah membaik. Dia bersyukur kesehatan ayahnya kembali pulih. Meskipun masih ada beberapa luka luar.
"Saat itu, aku sudah cari-cari RS tapi tidak dapat. RS penuh semua. Ini yang bikin nyawa bapak hampir lewat. Gara-gara Covid, jadi susah cari ICU yang kosong dan spesialis yang dituju. Setelah 2 hari, bapak baru dirujuk ke RSHS Bandung," kenang Angie.
Fasilitas Kesehatan Hampir Roboh
Tingkat keterisian tempat tidur (Bed Occupancy Ratio/ BOR) di RS memang meningkat. Bukan hanya di Jakarta saja, delapan provinsi lainnya juga mengalami peningkatan BOR di atas 70 persen. Data hingga 2 Januari 2021. Fasilitas kesehatan di Indonesia hampir roboh diterjang badai Pandemi Covid-19.
DKI Jakarta menjadi provinsi dengan peningkatan BOR tertinggi, yaitu 84,74 persen. Disusul Banten, 84,52 persen, Daerah Istimewa Yogyakarta 83,36 persen, Jawa Barat 79,77 persen, Sulawesi Barat 79,31 persen, Jawa Timur 78,41 persen, Jawa Tengah 76,27 persen, Sulawesi Selatan 72,40 persen, dan Sulawesi Tengah 70,59 persen.
"Jika dilihat pada tren perkembangannya, keterisian ruang ICU dan isolasi secara nasional ini semakin meningkat dan mengkhawatirkan. Hal ini dapat jadi alarm bagi kita bahwa kita sedang dalam keadaan darurat," kata Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito saat konferensi pers, Selasa (5/1).
Persentase BOR tersebut sudah melebihi standar yang ditetapkan organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO). Artinya, pemerintah harus menambah jumlah tempat tidur atau memperluas jumlah RS rujukan Covid-19. Kenyataannya, meskipun RS sudah ditambah tapi masih belum cukup menampung pasien Covid-19.
"WHO menyarankan BOR ideal sekitar 50 persen, kalau sudah sampai 70 persen berarti peringatan, harus menambah lagi tempat tidur pasien. Nah padahal akhir Desember lalu, kami sudah menambah jumlah rumah sakit rujukan Covid-19. Dari 127 menjadi 145 RS," ujar Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur, Herlin Ferliana.
Hingga 30 Desember 2020, Indonesia memiliki 940 RS rujukan yang melayani pasien Covid-19. Selain itu, setiap bulannya Kementerian Kesehatan juga menambah jumlah tempat tidur secara berkala.
Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes, Rita Rogayah mengatakan, pada November-Desember 2020, pemerintah telah menambah 10.000 tempat tidur. Namun BOR masih 70 persen.
Pemerintah akan kembali menambah kapasitas tempat tidur seluruh RS di Indonesia sebesar 30 persen. Bukan hanya di RS rujukan Covid-19 saja. Mengingat seluruh RS di Indonesia diimbau untuk ikut melayani pasien Covid-19, sekalipun RS tersebut bukanlah RS rujukan Covid-19.
"Kita sudah punya 940 RS rujukan tapi kami imbau semua RS, baik RS milik TNI, Polri, dan swasta yang mampu memberikan pelayanan untuk Covid-19, maka mereka juga bisa memberikan layanan," kata Rita.
Tak hanya kapasitas RS, jumlah tenaga kesehatan juga harus ditambah. Target Kemenkes, menambah 10.000 tenaga Kesehatan. Penambahan perawat 7.900 orang dari 1.141 fasilitas Kesehatan.
Penambahan tenaga kesehatan harus dilakukan mengingat banyaknya yang gugur dalam tugas di tengah pandemi Covid-19. Mereka gugur karena tertular ataupun karena kelelahan.
504 Tenaga Kesehatan Meninggal Dunia
Tak hanya fasilitas kesehatan. Tenaga kesehatan kita juga berada di titik nadir. Tengok saja catatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Apa yang bisa kita lakukan?
Adib berharap, masyarakat Indonesia tetap patuh pada protokol kesehatan Covid-19. Pandemi Covid-19 ini sudah memasuki bulan kesebelas. Namun kondisi di Indonesia justru semakin memburuk.
Karena itu masyarakat tidak boleh bosan atau merasa lelah menaati protokol kesehatan. Sekalipun pemerintah Indonesia sudah mulai melaksanakan program vaksinasi.
"Risiko penularan berada pada titik tertinggi, di mana positivity rate mencapai 29,4 persen. Situasi bisa semakin tidak terkendali jika masyarakat tidak membantu kami dengan meningkatkan kepatuhan protokol kesehatan 3M," kata Adib dalam keterangan resminya, Selasa (5/1).