Sistem pemenjaraan bermasalah, hukuman mati di RI belum tergantikan
Tugas pemerintah untuk membuat sistem hukuman yang memberi efek jera dan bisa menghapus hukuman mati.
Hukuman mati masih menjadi perdebatan hingga kini. Sebagian kalangan menentang adanya hukuman mati karena dianggap sebagai bentuk kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sebagian mendukung adanya eksekusi mati untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan.
Jika eksekusi mati tetap diberlakukan, apa sudah bisa menjamin adanya efek jera bagi para pelaku kejahatan. Apalagi Indonesia telah terpilih menjadi anggota dewan HAM oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Iqrak Sulhin merupakan salah satu pihak yang menentang keras adanya eksekusi mati. Menurutnya hukuman mati belum bisa menjamin adanya efek jera.
"Saya sangat menentang keras dengan eksekusi mati. Banyak alasan kenapa eksekusi mati harus ditolak," ungkap Iqrak dalam diskusi di Anomali Coffee, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/3).
Iqrak menegaskan, hukuman mati merupakan pelanggaran HAM, eksekusi mati menggambarkan Indonesia tidak bisa memikirkan hukuman yang setimpal untuk pelaku kejahatan, dan juga pemerintah Indonesia seakan main hakim sendiri tanpa meneliti latar belakang mengapa para terpidana melakukan pelanggaran.
Namun jika eksekusi mati dihilangkan, Iqrak mengaku hingga kini belum ada jenis hukuman lain yang bisa menggantikan eksekusi mati untuk mengadili para terpidana pengedar narkoba. Iqrak beranggapan hukuman penjara seumur hidup pun belum tentu bisa menjamin para terpidana bisa berubah.
"Bukankah hukuman seumur hidup bisa membuka peluang mereka melakukan bisnis pengedaran narkoba lagi. Kenapa? Karena manajemen pemenjaraan di lapasnya yang ada masalah," tambah Iqrak.
Inilah, kata Iqrak, yang menjadi pekerjaan rumah bagi Presiden Joko Widodo dalam menegakkan hukum di Indonesia. Bagaimana pemerintah bisa menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada para terpidana sekaligus memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan yang lain.