Tak Ada Bukti Visum Pelecehan Putri, Ahli: Tidak Menghilangkan Adanya Kejahatan
Keterangan itu disampaikan Mahrus selaku saksi ahli meringankan atau A de Charge dihadirkan tim penasihat terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi dalam lanjutan sidang perkara pembunuhan berencana Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (22/12).
Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mahrus Ali menilai tak ada hasil visum dalam korban kekerasan atau pelecehan seksual bukan berarti menghilangkan tindakan kejahatan dialami korban. Menurut Mahrus, hasil visum hanya salah satu bukti kerap dipakai dalam kasus tersebut.
Keterangan itu disampaikan Mahrus selaku saksi ahli meringankan atau A de Charge dihadirkan tim penasihat terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi dalam lanjutan sidang perkara pembunuhan berencana Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (22/12).
-
Apa sanksi yang diterima Ferdy Sambo? Ferdy Sambo diganjar sanksi Pemecetan Tidak Dengan Hormat IPTDH).
-
Siapa yang memimpin Sidang Kode Etik Polri untuk Ferdy Sambo? Demikian hasil Sidang Kode Etik Polri yang dipimpin jenderal di bawah ini: As SDM Polri Irjen Wahyu Widada.
-
Siapa Fredy Pratama? "Enggak (Tidak pindah-pindah) saya yakinkan dia masih Thailand. Tapi di dalam hutan," kata Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Mukti Juharsa, Rabu (13/3).
-
Bagaimana proses Sidang Kode Etik Polri untuk Ferdy Sambo? Demikian hasil Sidang Kode Etik Polri yang dipimpin jenderal di bawah ini: As SDM Polri Irjen Wahyu Widada.
-
Apa yang dilakukan Fredy Pratama? Nur Utami berubah sejak menikah dengan pria berinisial S, yang dikenal sebagai kaki tangan gembong narkoba Fredy Pratama.
-
Dimana Fredy Pratama bersembunyi? Bareskrim Polri mengungkap lokasi dari gembong narkoba Fredy Pratama yang ternyata bersembunyi di pedalaman hutan kawasan negara Thailand.
"Di dalam kasus-kasus kekerasan seksual dalam perspektif victimology itu sering kali terjadi di ruang-ruang privat sehingga apa pasti harus miliki bukti. Satu-satunya bukti yang biasa dihadirkan oleh jaksa biasanya visum, tetapi kalau visum enggak ada gimana?" kata Mahrus.
"Pertanyaan saya begini, visum itu enggak ada terkait dengan tantangan yang lebih berat yang dihadapi jaksa untuk membuktikan. Tapi dia tidak menghilangkan tidak adanya kejahatan (seksual)," sambung dia.
Oleh karena itu, Mahrus mengatakan bahwa pengusutan kasus kekerasan seksual harus dilakukan sesuai perspektif korban. Sebab, dalam kasus kekerasan seksual banyak faktor yang mempengaruhi korban hingga akhirnya tidak melakukan tes visum.
"Bisa saja menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual saat melapor dia akan mengalami victimisasi sekunder atas perlakuan yang tidak senonoh yang tidak enak dari banyak aktor dari sistem peradilan pidana misalnya," kata Mahrus.
Penjelasan Saksi Ahli
Dia pun menganalogikan gambaran kekhawatiran yang kerap dialami korban ketika kasus kekerasan seksual diproses hukum. Di mana, korban sering mendapatkan pertanyaan yang malah menyudutkan dan membuat semakin traumatik.
"Makanya maaf saya agak vulgar, dalam proses misalnya saudara itu berapa kali diperkosa? 5 kali pak, kalau 5 kali itu bukan perkosaan yang pertama perkosaan tapi yang ke 2 ke 5 suka sama suka, saudara menikmati enggak?" kata dia.
"Itu pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menjadikan korban menjadi korban kedua kali. Karena pertanyaan yang tidak ramah. Maka kenapa Perma 2016 itu tentang perlakuan yang baik terhadap perempuan," jelas dia.
Di samping itu menurut dia, ada budaya patriarki yang menambah tekanan untuk korban kekerasan seksual untuk melapor. Lantaran pandangan tersebut yang mengutamakan laki-laki ketimbang perempuan.
"Makanya kasus di Jawa Timur ketika ada seorang bapak perkosa anak sampai anaknya melahirkan ketika terungkap di persidangan. Itu salah satu alasan mengapa tidak berani melapor. Karena keluarganya yang melarang melapor, itu dianggap adalah aib. Ini adalah victimology," terang dia.
Sehingga dia memandang tidak semua korban kekerasan seksual berani untuk melapor karena adanya banyak faktor pertimbangan yang dikhawatirkan korban. Termasuk dalam hal ini melakukan visum yang khawatir aibnya malah terbongkar.
Padahal dalam kasus pembuktian kekerasan seksual baik jaksa atau penyidik masih banyak opsi lain untuk membuktikan kasus, tidak harus mengacu pada hasil visum.
"Karena banyak sekali alat bukti yang bisa diarahkan, apa? Psikologi bisa menjelaskan itu, apa contohnya? Orang yang diperkosa pasti mengalami trauma. Enggak ada setelah diperkosa itu ketawa-tawa enggak ada, maka gimana cara membuktikan? Hadirkan saksi psikologi untuk menjelaskan itu," terang dia.
Sekedar informasi jika keterangan Mahrus sebagai saksi meringankan akan memberikan kesaksian pada perkara dugaan pembunuhan berencana Brigadir J untuk terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi. Di mana mereka didakwa melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 KUHP dengan pidana paling berat sampai hukuman mati.
(mdk/gil)