Tanah yang dipakai tambang liar di Pakem, Sleman disewa Rp 500 juta per 2.000 meter
Menurut salah seorang tokoh masyarakat, Heri Indiantara (50), penambangan biasa dilakukan dengan menyewa atau membeli tanah warga. Tanah yang dibeli hanya untuk diambil pasir dan batunya. Sedangkan kepemilikan tanah tetap menjadi kepunyaan warga.
Maraknya pertambangan liar di kawasan Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, DIY ternyata tak lepas dari godaan nilai nominal yang menggiurkan bagi masyarakat. Pertambangan liar di kawasan Pakem ini dilakukan dengan cara membeli atau menyewa tanah lalu digali dan diambil pasir dan batunya.
Menurut salah seorang tokoh masyarakat, Heri Indiantara (50), penambangan biasa dilakukan dengan menyewa atau membeli tanah warga. Tanah yang dibeli hanya untuk diambil pasir dan batunya. Sedangkan kepemilikan tanah tetap menjadi kepunyaan warga.
"Biasanya tanah dijual per 2000 meter dengan kedalaman 7 meter seharga Rp 500 juta. Dengan nominal segitu ya warga tergiur. Apalagi tanah tetap jadi milik warga sedangkan pasir dan batu diambil oleh pembeli," terang Heri, Rabu (6/9).
Heri menguraikan jika praktek penambangan liar dengan cara menyewa tanah ini sudah mulai dilakukan pada tahun 2006 yang lalu. Namun praktek ini sempat berhenti di tahun 2010 karena erupsi Gunung Merapi. Paska erupsi para penambang menambang di sekitar sungai yang dipenuhi pasir dari erupsi Gunung Merapi. Pertambangan dengan model menyewa tanah ini kembali dilakukan di tahun 2016 setelah pasir di sungai mulai menipis.
"Dulu menambang pakai backhoe. Tetapi sekarang menambangnya manual. Meskipun manual tapi kecepatannya tinggi sehingga merusak lingkungan. Lihat saja bekas galiannya saat ini sampai 10 meter kedalamannya," jelas Heri.
Heri menjabarkan jika kawasan Pakem merupakan daerah resapan air. Jika penambangan pasir liar terus dilakukan dikhawatirkan berdampak pada ketersediaan air di wilayah bawah Pakem.
"Ini daerah resapan. Dampaknya bisa sampai bawah (Kota Yogyakarta dan sekitarnya). Saat ini memang belum terjadi tapi jika pertambangan liar terus dilakukan lama kelamaan akan berdampak," ungkap Heri.
Heri menuturkan kawasan yang saat ini ditambang akan sulit untuk diperbaiki. Reklamasi pun mustahil dilakukan karena tak ada pihak yang mau bertanggung jawab.
Pertambangan liar, kata Heri, melibatkan para warga yang diantara merupakan pemilik tanah yang disewa. Mereka, lanjut Heri, selalu beralasan masalah perut untuk menutupi pertambangan liar yang dilakukan.
"Saya tidak percaya ini masalah perut. Bayangkan mereka (pemilik lahan) punya tanah seluas 2000 meter. Tadinya mereka berprofesi sebagai peternak sapi perah dan menggunakan tanah itu untuk menanam makanan ternak. Tetapi setelah tahu jika laku dijual pasirnya, mereka akhirnya melepaskannya. Nilai uangnya menggiurkan," ulas Heri.
Heri menambahkan jika pola pikir praktis, etos kerja yang buruk, dan keinginan kaya secara instan yang membuat pemilik lahan akhirnya mau merelakan tanahnya untuk digali dan diambil pasir maupun batunya.
"Dulunya juga mereka tidak kelaparan. Mereka bekerja menjadi peternak sapi. Kemudian tanah yang saat ini ditambang juga turut ditanami. Kenapa saat ini malah dijual. Sehingga dampaknya lingkungan menjadi rusak," tegas Heri.
Menanggapi pertambangan liar di Pakem, Bupati Sleman, Sri Purnomo mengatakan akan melakukan penertiban. Sri Purnomo juga akan menghentikan pertambangan liar yang merusak lingkungan tersebut.
"Akan kita tertibkan dan hentikan. Kita akan ajak tokoh masyarakat memberikan pemahaman. Jika tetap dilakukan akan kita tangkap dan ajukan ke pengadilan. Penambangan liar ini merusak lingkungan dan ekosistem," tutup Sri Purnomo.