Teka-teki mundurnya 14 menteri Ekuin sebelum Soeharto lengser
Harapan dan rencana Soeharto untuk mundur perlahan melalui jalan pemilu tanpa keikutsertaannya itu pun kandas.
Mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 silam, tidak bisa lepas dari sejumlah peristiwa beberapa hari sebelumnya. Usai bertemu sepuluh tokoh masyarakat dan ulama yang diundang ke Istana Negara untuk dimintai pendapat, keputusan pun berhasil disepakati di mana Soeharto bersedia mengundurkan diri dengan jalan pemilu yang dipercepat tanpa keikutsertaannya.
Guna merealisasikan hal tersebut, maka direncanakan juga perombakan Kabinet Pembangunan ke-VII menjadi Kabinet Reformasi, sebagai pembuka jalan dalam persiapan pemilu yang dipercepat guna mencari pemimpin baru bagi Indonesia saat itu.
Namun, hanya berselang satu hari dari pertemuan Soeharto dengan para tokoh masyarakat dan ulama tersebut, kabar mengejutkan datang dari empat belas menteri Ekuin di Kabinet Pembangunan ke-VII, yang menyatakan untuk mengundurkan diri secara bersama-sama dari jabatan mereka.
Ke empat belas menteri yang menandatangani 'Deklarasi Bappenas' tersebut antara lain adalah Ir Akbar Tandjung, Ir Drs AM Hendropriyono, Ir Ginandjar Kartasasmita, Ir Giri Suseno Hadihardjono, Dr Haryanto Dhanutirto, Prof Dr Ir Justika S. Baharsjah, Dr Ir Kuntoro Mangkusubroto, Ir Rachmadi Bambang Sumadhijo, Prof Dr Ir Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo M.Sc, Ir Sumahadi MBA, Drs Theo L. Sambuaga, dan Tanri Abeng MBA.
Harapan dan rencana Soeharto untuk mundur perlahan melalui jalan pemilu tanpa keikutsertaannya itu pun kandas. Langkah terakhir untuk segera mungkin mengumumkan pengunduran dirinya pun diambil. Soeharto mundur tepat sehari setelah para menteri Ekuin-nya itu resign secara bersamaan, yakni pada 21 Mei 1998.
Guna mengetahui motif sebenarnya dari pengunduran diri massal ke empat belas menteri Ekuin di Kabinet Pembangunan ke-VII tersebut, merdeka.com berhasil menemui Akbar Tandjung, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Pemukiman dan salah satu penandatangan 'Deklarasi Bappenas' tersebut.
Ditemui di Akbar Tanjung Institute kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Akbar mengisahkan latar belakang mundurnya ke empat belas menteri, yang berada di bawah Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri (Meneg Ekuin) dan Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita tersebut.
Akbar menceritakan, pada 20 Nei 1998, Ginandjar memanggil semua menteri di bawah koordinasinya, untuk menghadiri rapat di Gedung Bappenas guna menyikapi masalah ekonomi negara di masa krisis multidimensi tersebut. Hingga akhirnya, para menteri yang hadir dalam rapat tersebut sepakat menyatakan mundur dari jabatannya masing-masing dengan penandatanganan Deklarasi Bappenas.
"Pada waktu itu, para menteri yang ada dalam pertemuan di Bappenas tersebut sepakat, bahwa penyelesaian masalah-masalah yang kita hadapi ini, terutama akibat dari krisis ekonomi, itu tidak lagi bisa diselesaikan semata-mata dengan pendekatan ekonomi," ujar Akbar saat ditemui merdeka.com pada Kamis (19/5) kemarin.
"Secara implisit sebetulnya bisa dikatakan kita ini beratnya tidak lagi menjadi masalah-masalah ekonomi saja, tapi sudah merambat ke masalah politik. Itulah intinya," ujarnya menambahkan.
Akbar menjelaskan, salah satu poin yang diingatnya dari isi Deklarasi Bappenas tersebut, antara lain menyatakan bahwa mereka (para menteri Ekuin) mengundurkan diri dari jabatan menteri, sekaligus menolak untuk dimasukkan ke dalam kabinet yang baru akan dibentuk oleh Soeharto dengan nama Kabinet Reformasi.
"Yang salah satu isinya menyatakan, jika seandainya Bapak Presiden akan membentuk kabinet baru, kami sepakat bahwa kami tidak bisa ikut dalam kabinet tersebut. kira-kira begitulah isinya," ujar Akbar.
Ketika ditanya apakah di dalam Deklarasi Bappenas tersebut para menteri itu juga menyatakan keinginannya bahwa Presiden Soeharto harus mundur dari jabatan presiden, Akbar dengan tegas membantah dan mengatakan bahwa poin semacam itu tidak ada terlampir di dalamnya.
Namun, lanjut Akbar, dirinya juga tidak menyangkal bahwa selama rapat berlangsung, sebagian besar dari para menteri itu juga menyadari bahwa mundurnya Soeharto, merupakan satu-satunya jalan agar bisa meredam segala bentuk kekacauan sosial yang terjadi saat itu.
Walaupun tidak ada satu patah kata pun yang terlontar (atau tertulis di dalam Deklarasi Bappenas) dari para menteri tersebut mengenai keharusan Soeharto untuk lengser, namun Akbar tak memungkiri jika wacana tersebut bisa saja menjadi latar belakang pemikiran sebagian menteri saat menandatangani Deklarasi Bappenas tersebut.
"Kami tidak mengatakan itu secara eksplisit, sama sekali tidak. Tapi bahwa mungkin saja dari keempat belas menteri yang hadir itu dalam 'back mind' nya menganggap demikian, ya bisa saja. Tapi saya pribadi tidak melihat dari perspektif itu," pungkasnya.
-
Kapan Soeharto mendapat gelar Jenderal Besar? Presiden Soeharto mendapat anugerah jenderal bintang lima menjelang HUT Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke-52, tanggal 5 Oktober 1997.
-
Kapan Presiden Soeharto biasanya berangkat ke kantor? Pak Harto Terbiasa Berangkat ke Kantor Jam 09.00 Atau Jam 10.00 WIB Pagi harinya dia akan bekerja di Jl Cendana, seperti memanggil menteri atau memeriksa laporan dari para pejabat.
-
Apa yang dilakukan Soeharto saat rombongan presiden akan melintasi Jalan Tol Semanggi? Di tol Semanggi, tiba-tiba Soeharto menepuk pundak ajudannya, Kolonel Wiranto. "Wiranto, Beri Tahu Polisi itu Kendaraan di Jalan Tol, Tidak Perlu Dihentikan." Mereka itu membayar untuk jalan bebas hambatan, bukan malah disetop gara-gara presiden mau lewat," kata Soeharto. "Kalau Mereka Dibiarkan Jalan Pelan-Pelan kan Tidak Mengganggu Rombongan."
-
Kenapa Soeharto selalu tersenyum? Presiden Indonesia Kedua Soeharto dikenal dengan sebutan ‘The Smiling General’ atau Sang Jenderal yang Tersenyum. Ini karena raut mukanya senantiasa tersenyum dan ramah.
-
Kapan Soeharto bertugas di Sulawesi Selatan? Soeharto dan keluarga BJ Habibie sudah saling kenal dan dekat sejak tahun 1950. Kala itu, Soeharto berdinas di Sulawesi Selatan dan kebetulan rumah BJ Habibie tepat di depan markasnya, Brigade Mataram.
-
Siapa yang berencana meracuni Soeharto? Rupanya tamu wanita yang tidak kami undang itu berencana meracuni kami sekaluarga," kata Soeharto.
Baca juga:
14 Menteri bikin Soeharto lengser lebih cepat
Detik-detik kejatuhan Orde Baru 21 Mei 1998
Curhatan Soeharto di depan sepuluh tokoh sebelum lengser keprabon
Rangkap jabatan Harmoko jadi bumerang bagi Soeharto
Cerita Habibie umpat Soeharto 'Bapak kurang ajar' sebelum lengser