Tragedi AirAsia QZ8501, gangguan sistem pesawat berujung petaka
KNKT menyimpulkan pesawat itu jatuh bukan karena cuaca.
Setahun lalu atau tepat 28 Desember 2014, pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura mengalami kecelakaan. Diawali hilang kontak pada pagi di hari yang kelam itu, nasib nahas pesawat tersebut baru bisa diketahui dua hari kemudian setelah Basarnas menemukan serpihan dan satu jenazah penumpang.
Di Laut Jawa, dekat dengan Selat Karimata, salah satu jenazah ditemukan dalam posisi telungkup mengenakan baju putih celana hitam, sementara 3-4 jenazah berjejeran dan terlihat sedang bergandengan.
Penemuan ini kemudian diikuti penemuan-penemuan jenazah lainnya, sampai akhirnya 162 penumpang dan kru pesawat jenis Airbus A320-200 itu dinyatakan tidak ada yang selamat, meski tidak semua jenazah ditemukan.
Basarnas resmi menutup operasi pencarian korban pada 3 Maret 2015 atau dua bulan setelahnya. Meski demikian, operasi tambahan di luar operasi besar tetap dilakukan.
"Terhitung mulai hari ini, Selasa, 3 Maret 2015, pukul 13.45 WIB, operasi pokok pencarian dan pertolongan korban pesawat AirAsia QZ8501 resmi kami tutup," kata Marsekal Madya FH Bambang Soelistyo, Kepala Badan SAR Nasional, dalam jumpa pers di Polda Jatim, kala itu.
Operasi ditutup setelah tim gabungan berhasil menemukan bagian besar badan pesawat pada akhir Februari dan awal Maret 2015 di Selat Karimata antara pantai bagian sebelah timur dari Pulau Belitung sampai dengan pantai bagian barat Pulau Kalimantan. Sebelumnya, Flight Data Recorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR), ditemukan pada 12 Januari dan 13 Januari 2015.
Setelah hampir satu tahun, pada 1 Desember yang lalu, Komisi Nasional untuk Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis hasil investigasinya atas FDR dan CVR AirAsia QZ8501. Kesimpulannya, penyebab utama kecelakaan adalah gangguan dalam sistem pesawat, bukan cuaca buruk yang selama ini diduga.
Kepala sub komite kecelakaan pesawat udara KNKT Kapten Nurcahyo mengatakan, hasil investigasi melalui FDR tercatat terjadi 4 kali aktivasi tanda peringatan yang disebabkan karena gangguan pada sistem RTL (Rudder Travel Limiter).
"Gangguan pertama tercatat muncul pada Pukul 06.01 WIB dalam ketinggian 32 ribu kaki," kata Nurcahyo di Kantor KNKT, Jakarta, Selasa (1/12).
Gangguan berikutnya muncul pada Pukul 06.09 WIB dan Pilot melakukan tindakan sesuai prosedur ECAM (Electronic Centralized Aircraft) sehingga gangguan pada sistem RTL masih bisa dikendalikan oleh pilot.
Gangguan ketiga muncul setelah 4 menit kemudian, pilot masih melakukan tindakan sesuai prosedur ECAM. Gangguan keempat terjadi pukul 06.15 WIB dan FDR mencatat penunjukan berbeda dengan tiga gangguan sebelumnya, namun pilot tidak melakukan tindakan sesuai prosedur ECAM.
Ketua KNKT Surjanto Tjahjono mengatakan, gangguan keempat tersebut pernah terjadi pada 25 Desember 2014 lalu di Bandara Juanda. Saat itu, Circuit breaker (CB) pada Flight augmentation Computer (FAC) direset.
"Kapten pilot ternyata pernah mengalami hal ini pada tanggal 25 Desember 2014, saat itu ia melihat teknisi sudah melakukan reset waktu di Surabaya," kata Surjanto.
Setelah Gangguan keempat muncul, Auto-Pilot dan Auto-Thrust tidak aktif, sistem kendali fly by wire. Pesawat berganti dari normal law ke alternate law di mana beberapa proteksi tidak aktif.
Pengendalian pesawat oleh awak pesawat secara manual selanjutnya menyebabkan pesawat masuk pada kondisi yang disebut sebagai upset condition (sebuah kondisi dimana pesawat telah terbang tidak sengaja melebihi parameter biasanya) dan stall (pesawat terhenti) hingga akhir rekaman FDR.
Di dalam pesawat terdapat 162 orang, terdiri dari 2 orang pilot, 4 awak kabin, seorang engineer dan 156 penumpang. Seluruh penumpang pesawat tewas dalam tragedi memilukan tersebut.