Trah Bonokeling berjalan kaki agar bersatu dengan alam
Hari ini anak cucu Bonokeling melakukan ziarah kubur dan selamatan di makam para leluhur. Mereka berjalan kaki menuju ke lokasi. Ini dilakukan lantaran berjalan kaki merupakan wujud dari menyatu dengan alam.
Menuju tempat-tempat yang dianggap suci bagi anak cucu bonokeling, dijalani dengan laku spiritual tak biasa yakni berjalan kaki. Dari kediaman masing-masing, mereka yang tinggal di Kabupaten Cilacap atau Banyumas bersama menempuh perjalanan puluhan kilometer.
Mendaki kendran (tempat peristirahatan Ki Bonokeling) di bukit kecil Desa Adiraja Cilacap saat mauludan, atau berziarah ke makam Ki Bonokeling di Desa Pekuncen Banyumas saat mendekati bulan puasa, mereka berombongan berjalan kaki berpeluh keringat sembari panjatkan doa.
Kesepuhan (ketua adat) anak putu (cucu) Bonokeling, Ki Sumitro mengatakan berjalan kaki memang bagian ibadah dari komunitasnya. Berjalan kaki ia sebut sebagai laku dari manunggaling alam atau bersatunya manusia dengan alam. Selain itu dalam kegiatan ini, anak putu juga berikhtiar memanjatkan doa tentang harapan-harapan yang ingin dikabulkan.
"Berjalan kaki memang bagian laku ibadah kita. Manunggaling alam, bersatu dengan alam sebagai sesama ciptaan Tuhan," kata Sumitro kepada merdeka.com, Rabu (17/5).
Dalam ritual perlon (keperluan) unggahan selamatan menyambut bulan puasa pada Kamis (18/5), seribu lebih anak putu Bonokeling mengikuti laku berjalan kaki sejauh 40 km dari Adiraja, Kalikudi, Kawunganten, Kroya ke Pekuncen, Kabupaten Banyumas. dalam ritual itu mereka mesti melewati jalur yang tak mudah. Di bawah terik matahari, mereka mesti naik turun perbukitan dengan kondisi jalan yang beberapa diantaranya berkerikil.
Salah satu anak putu dari Adipala, Rizki Dewanti (15) mengaku sudah dua kali mengikuti ritual ini. Dia berdoa agar menjadi anak yang lebih baik.
"Unggahan ini dua kalinya yang saya ikuti. Saya berharap bisa jadi anak yang lebih baik lagi," kata Rizki saat ditemui merdeka.com di bukit perbatasan Cilacap-Banyumas di daerah Pekuncen, Kamis (18/5).
Dalam buku Islam Kejawen, Sistem Keyakinan dan ritual anak cucuk Ki Bonokeling (2008) yang ditulis Suwito NS dkk, anak putu Bonokeling merupakan komunitas Islam Kejawen. Perkembangan komunitas ini bermula dari tokoh spiritual bernama Ki Bonokeling yang membuka hutan dan mengembangkan pertanian di Pekuncen yang berarti suci. Anak cucu Ki Bonokeling sendiri lantas menyebar ke berbagai wilayah baik di cilacap maupun Banyumas.
Terkait pandangan sebagai Islam Kejawen, Sumitro sendiri menegaskan bahwa komunitasnya lebih nyaman dipandang sebagai Islam saja tanpa embel-embel lain. Ia mengakui dari beberapa tata cara ibadah memang ada beberapa hal yang berbeda dengan umat Islam pada umumnya.
"Ada beberapa hal yang tidak ilok (tabu) untuk dibicarakan. Kami lebih nyaman disebut Islam saja," kata Sumitro yang merupakan ketua adat anak putu Bonokeling generasi ke-14.