Usman Hamid: Lapas Penuh Karena Penegak Hukum Selalu Pidanakan Orang
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menyoroti permasalahan penuhnya lembaga permasyarakatan (lapas) di Indonesia. Menurutnya, harus ada perubahan pola pikir dari penegak hukum untuk tidak selalu mempidanakan seseorang.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menyoroti permasalahan penuhnya lembaga permasyarakatan (lapas) di Indonesia. Menurutnya, harus ada perubahan pola pikir dari penegak hukum untuk tidak selalu mempidanakan seseorang.
Menurut data Ditjen PAS Kemenkum HAM, jumlah narapidana di Indonesia mencapai 270 ribu. Sementara daya tampung Lapas hanya bisa 130 ribu saja.
-
Kapan Kurniawan Dwi Yulianto lahir? Kelahiran Kurniawan Dwi Yulianto 13 Juli 1976
-
Kapan Atang Sendjaja meninggal? Pada 29 Juli di tahun itu menjadi hari duka bagi AURI.
-
Kenapa penonton konser di Tangerang marah dan membakar panggung? Kesal sudah membeli tiket namun tidak bisa menonton band idola, sejumlah penonton konser mengamuk. Mereka hilang kendali, menumpahkan kekesalan dengan membakar sound system dan panggung. Harga tiket yang dibanderol Rp115.000 makin menambah kekesalan mereka.
-
Kapan bencana banjir lumpur terjadi di Tangerang Selatan? Bencana banjir lumpur dikarenakan jebolnya tanggul Situ Gintung yang berlokasi di Tangerang Selatan menimbulkan berbagai macam penyakit bagi penduduk sekitar.
-
Kapan Luweng Wareng terbentuk? Gua ini terbentuk ribuan tahun lalu akibat proses geologi amblasnya tanah dan vegetasi yang ada di atasnya ke dasar bumi.
-
Apa yang dilakukan Satpol PP di Lumajang? Petugas juga memergoki pemuda bersama 2 orang wanita dalam satu kamar.
"Harus ada perubahan paradigma di lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Dengan pengalaman Lapas Tangerang dan masalah penuhnya Lapas hingga anggaran yang minim, maka harus ada perubahan pola pikir dari penegak hukum untuk tidak selalu mempidanakan seseorang," ujarnya, Rabu (22/9).
Usman mengatakan, sekali penegak hukum memvonis seseorang untuk dipenjara, maka Lapas tidak dalam posisi yang bisa menolak. Dengan kata lain, Lapas tidak memiliki wewenang menolak seperti yang ada di sejumlah negara seperti Belanda.
Maka, penegak hukum harus benar-benar mempertimbangkan sebab-sebab lain dari kenapa orang melanggar hukum. Mulai dari masalah sosial, politik hingga kesulitan ekonomi.
"Bahkan juga harus dipikirkan masalah-masalah kesehatan di balik berbagai masalah penggunaan Napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif," tuturnya.
Usman melanjutkan, solusi lain untuk mengatasi penuhnya lapas pemerintah dan DPR harus segera melakukan perubahan pada perundang-undangan. Salah satunya, dengan menghapuskan pasal-pasal pemidanaan untuk tindakan-tindakan yang bukan kejahatan.
"Seperti pasal-pasal dalam UU Anti Napza, pasal-pasal dalam UU ITE hingga UU KUHP yang terkait dengan pencemaran nama baik, penghinaan, atau makar dan penodaan agama," tukas Usman.
Raup Untung dari Over Capacity
Pakar di bidang kriminologi dan kepolisian, Adrianus Eliasta Meliala menuturkan, kondisi lapas over capacity membuat anggaran yang dikelola Pemasyarakatan menjadi bertambah. Hal ini membuat rawan praktik penyimpangan.
"Jadi selalu menyenangkan di mata para sipir kalau punya warga binaan yang banyak, agar kemudian lalu dari pembelian macam-macam itu mereka bisa mengambil satu lah," katanya.
Alasan kedua adalah menciptakan suatu kondisi, di mana narapidana dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Dengan banyaknya napi di Lapas, kata dia, maka mereka membentuk komunitas. Saling mengenal, lalu memilih Ketua.
“Lalu di mata petugas Lapas sebagai kapital. Saya sebagai petugas mau pergi ke Jakarta lah, lalu kemudian itu minta sangon kepada ke kelompok itu yang kemudian belikan tiket atau apalah," ujarnya.
Menurut Adrianus, untuk mengubah kondisi seperti ini diperlukan terobosan agar persoalan Lapas over capacity bisa berkurang.
Pernyataan senada juga diungkapkan Anggota Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa. Menurutnya, persoalan over capacity menjadi bisnis menguntungkan di dalam Lapas.
Sebagai contoh, kata Desmond, apabila Lapas tersebut menambah jumlah tahanan, maka otomatis uang makannya juga bertambah. Kemudian, lanjut dia, ada proyek penyewaan tikar untuk para narapidana. "Itu real kok," ujarnya.
©2021 Merdeka.com/Grafis: Amar Choiruddin
Politikus Partai Gerindra itu menunjuk pemerintah terkait kondisi Lapas over capacity. Menurutnya, tatanan hukum harus dibenahi. Kondisi yang terjadi saat ini, menurut Desmond, Lapas menjadi tempat bagi semua yang terjerat hukum.
Bagi Desmond, pembangunan Lapas baru tidak akan bisa menyelesaikan persoalan over capacity. Berkaca dari kebijakan yang sudah-sudah, negara telah menggelontorkan triliunan anggaran untuk pembangunan Lapas. Namun persoalan utama tidak terselesaikan.
"Padahal di negara mana pun, hari ini penyakit masyarakat seperti ini bisa disalurkan. Belanda sudah tidak ada lagi penghuni Lapas-nya itu kan. Australia sudah ditata rapih. Jadi semua orang benahi. Yang jadi soal pemerintah ini pada saat kita membikin undang-undang pemasyarakatan yang sudah selesai, ditunda gitu loh. Digantung enggak jelas," ucapnya.
Beberapa solusi yang dinilai bisa dilakukan adalah kesiapan rumah sakit rehabilitasi untuk warga yang terjerat narkoba. "Jangan sampai akhirnya semuanya buangnya ke Lapas. Maka ini yang terjadi dengan over capacity," pungkasnya.
Jawaban Kemenkum HAM
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kemenkum HAM, Rika Aprianti mengakui kondisi Lapas over capacity membuat jumlah sipir tidak seimbang. Namun ketika dikonfirmasi terkait dugaan permainan anggaran di dalam Lapas dengan memanfaatkan kondisi over capacity, Rika mempersilakan DPR untuk menyampaikan bukti-bukti.
"Kalau kayak gitu kita berbicara pada fakta. Kita welcome kok semua hal yang berkaitan adukan silakan adukan, laporkan. Kalau saya tidak akan berbicara tidak berdasarkan fakta, kalau ada data di kami kami sampaikan," ucap Rika.
Kemenkum HAM ogah disalahkan sendirian terkait persoalan Lapas over capacity. Rika menjabarkan, sejumlah langkah telah ditempuh untuk mengatasi persoalan klasik tersebut. Pertama dengan pembangunan Lapas baru. Namun, diakui Rika, solusi ini belum seratus persen menjawab persoalan.
Terlebih biaya yang dibutuhkan untuk membangun tidaklah sedikit. Belum lagi urusan perawatan dan pengadaan perangkat perangkat terkait, termasuk juga persoalan keamanan.
"Itu salah satu solusi tetapi bukan solusi ya, karena pertama mahal. Kedua itu tidak menambah kapasitas terlalu jauh, karena harganya mahal dari segi pembangunan," tuturnya.
Upaya Kemenkum HAM selanjutnya, memberikan hak bebas bersyarat, termasuk juga remisi. Ini diberikan bagi narapidana yang mengikuti pembinaan dengan baik selama menjalani hukuman. Kemudian memberikan hak integrasi seperti cuti bersyarat, cuti menjelanh bebas. Sedangkan untuk kasus narkoba, terbukanya peluang untuk dilakukan rehabilitasi.
"Penggunaan narkotika bisa langsung direhabilitasi alangkah sangat menguntungkan sekali bagi Lapas dan Rutan. Itu bisa mengurangi hingga 30 persen," jelas Rika.
Bicara soal data, Rika mengatakan, jumlah narapidana di Indonesia sebanyak 266 ribu. Sementara Lapas di seluruh Indonesia idealnya hanya bisa menampung narapidana sebanyak 130 ribuan saja.
Belum lagi soal anggaran. Rika menilai, sering kali Kementeriannya berhutang kepada para pemborong karena kurangnya anggaran. Contohnya, utang kepada vendor penyedia jasa makanan para narapidana.
“Karena hunian tahun ini pada tahun depannya itu nanti bertambah,” katanya.
Anggaran Memprihatinkan
Pakar Kriminologi Adrianus Meliala mengakui, anggaran menjadi salah satu persoalan dalam pengelolaan Lapas di Indonesia. Belum lagi bicara soal kekurangan sumber daya manusia di Lapas.
Dia mengatakan, banyaknya narapidana menjadi beban bagi negara. Sebab, uang makan para narapidana yang dianggarkan negara Rp18 ribu per orang dalam satu hari. Untuk kesehatan para narapidana, dia mengungkapkan, pemerintah menganggarkan Rp10 ribu untuk setahun.
“Paling bisa beli panadol tuh, paling juga hanya 1 tablet,” imbuhnya.
Adrianus juga menyinggung rencana pemerintah yang ingin membangun 13 Lapas baru. Angka itu jauh dari kebutuhan. Menurut dia, Indonesia butuh membangun 140an Lapas untuk menampung seluruh narapidana yang ada saat ini.
Selanjutnya, bicara soal SDM, Adrianus mengungkapkan, idealnya 10 narapidana dijaga oleh 1 sipir. Artinya, jika saat ini ada 270 ribu narapidana, maka Indonesia membutuhkan 27 ribu orang sipir. Faktanya tidak demikian.
Kata dia, total jumlah petugas Lapas di Indonesia ada 40 ribu. Tapi 40 ribu termasuk manajemen dan pembinaan. Khusus penjaga tahanan hanya 8 ribu orang. Jauh di bawah angka ideal.
“Jadi harusnya 270 ribu dijaga 27 ribu orang. Tapi dalam kenyataannya, hanya dijaga 8.000 orang dibagi 700 Lapas kurang lebih sekitar itu. Maka hasilnya tadi seadanya,” kata Adrianus.
Baca juga:
Over Kapasitas Lapas, Anggota DPR Sebut Politik Hukum Pemidanaan Harus Berubah
625 Napi Jalani Vaksinasi Covid-19, 40 Polisi Berjaga di Lapas Bontang
Lapas Penuh Sesak, Wamenkum HAM Harap RUU Narkotika Disahkan Oktober 2021
Mahfud MD: Presiden Jokowi Setuju Pembangunan Lapas Baru Pakai Lahan Aset BLBI
Wamen Sebut Kelebihan Kapasitas di Lapas Bukan Kesalahan Kemenkum HAM
Masalah Lapas Indonesia Mirip Amerika, Petugas Rutan Jatim Diminta Lakukan Ini