Wantimpres: Tak mungkin presiden gegabah beri grasi terpidana mati
"Ada hampir 15 juta dari masyarakat Indonesia ini yang sudah terkategorikan sulit disembuhkan dari narkoba."
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Suharso Monoarfa mengatakan sikap Presiden Joko Widodo tegas soal eksekusi mati. Menurutnya, Jokowi tidak akan gegabah memberi grasi bagi terpidana narkoba.
Suharso menilai upaya barter tahanan yang ditawarkan oleh pihak Australia karena 2 warganya tersangkut narkoba sebagai upaya diplomasi. Tetapi, katanya, putusan pengadilan jelas terpidana narkoba dihukum sesuai aturan berlaku.
"Kita memang ada hukuman seumur hidup, tapi ini keputusan pengadilan sesuai aturan hukum sebuah negara, masa mau diintervensi dengan pertukaran tahanan? Proses hukum sudah final, kemudian dari Mahkamah Agung sudah sampai di sana," tuturnya, Jumat (13/3).
"Tidak mungkin presiden gegabah ambil putusan (grasi), dia kepala negara ingin rakyat terlindungi. Kita penduduk 250 juta dan tersebar, penduduk Australia berapa sih? Saya bukan mau melecehkan, tapi dampak ke kita besar," tambahnya.
Suharso menilai bahwa hukuman mati bisa memberikan manfaat kepada penguatan nasionalisme bangsa. Baginya narkoba adalah momok untuk masa depan generasi muda.
"Eksekusi mati itu kan kita bisa lihat dr sisi kepentingan nasional. Kepentingan nasional kita hari ini ada lost generation. Konon ada hampir 15 juta dari masyarakat Indonesia ini yang sudah terkategorikan sulit disembuhkan dari narkoba. Kemudian ada 50 orang meninggal setiap hari karena itu," jelasnya.
Tidak hanya generasi muda, Suharso menilai kerugian itu dalam sisi lainnya, seperti juga kerugian negara yang jumlah nominalnya tidak sedikit dan banyaknya ancaman dan level bahaya yang sangat tinggi.
"Kemudian juga bisnis itu triliunan rupiah tidak bayar pajak, lalu menguras kekayaan-kekayaan generasi muda, sehingga banyak dirugikan, baik modal, fisik, ekonomi. Mari lihat dari sisi itu tingkat bahaya dan ancamannya," tandasnya.