Warga segel tanah dan bangunan kantor Demokrat di Banda Aceh
Warga mempermasalahkan bahwa tanah tersebut adalah wakaf untuk kemaslahatan warga.
Warga Desa Lueng Bata, Kecamatan Lueng Bata, Kota Banda Aceh protes dan menyegel tanah wakaf yang diduga dijual tanpa kesepakatan perangkat desa tersebut. Tanah wakaf tersebut saat ini sudah dibangun kantor Partai Demokrat (PD) Provinsi Aceh.
Warga memasang spanduk warna putih bertuliskan 'Tanah Ini Adalah Milik Wakaf Gampong Lueng Bata' di depan kantor tersebut, yang sedang proses pembangunan. Selain itu warga juga memasang pagar kawat sebagai bentuk protes atas penjualan tanah wakaf tersebut.
Tuha Peut (Majelis Permusyawaratan Desa) Lueng Bata, Anisrullah mengaku tanah tersebut mulanya memang sudah dibebaskan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh. Pembebasan tanah ini mulanya diperuntukkan untuk kepentingan umum.
"Tanah wakaf itu sebenarnya tidak boleh diperjualbelikan, tetapi kalau untuk kepentingan umum boleh," kata Anisrullah kepada wartawan, Rabu (13/5).
Penjualan tanah wakaf untuk kepentingan umum, jelasnya, ada syaratnya yaitu boleh dijual dengan cara tukar guling. Kalau bukan kepentingan umum harga yang sesuai dengan standar atau harga normal. Akan tetapi dalam kasus ini, tanah tersebut kemudian dipergunakan bukan untuk kepentingan umum.
Anisrullah meminta Pemkot Banda Aceh harus bertanggung jawab terkait sengketa tanah wakaf tersebut. Karena Anis menduga ada permainan dengan penjualan tanah tersebut, karena tanah itu dijual pada pihak ketiga, bukan untuk kepentingan umum seperti perluasan jalan.
"Harusnya kalau bukan untuk kepentingan umum, tanah seluas 560 meter ini harga Rp 6 juta per meter, bukan hanya Rp 1,2 juta per meter," tukasnya.
Hal yang membuat warga meradang, jelasnya, penjualan tanah wakaf tersebut hanya dilakukan sepihak. Semestinya ada kompromi dengan perangkat desa seperti Badan Azis, Tuha Peut, Kepaka Desa dan tokoh masyarakat yang mengerti tentang tanah itu.
"Pembangunan kantor ini tidak ada koordinasi apapun dengan kami, dulu pernah anak muda pernah tuliskan untuk kembalikan tanah wakaf ini," imbuhnya.
Katanya, aksi penyegelan oleh warga hari ini agar meminta diberikan penjelasan status tanah ini. Apa lagi masyarakat telah lama menunggu hingga delapan bulan administrasi jual-beli tanah tersebut.
Anisrullah memang tidak menampik penjualan tanah ini diketahui camat dan ditandatangani oleh Tgk Imam (sesepuh kampung) sementara atas nama Asnawi MA. Namun Anis mengaku semua transaksi penjualan tanpa sepengetahuan masyarakat setempat.
"Bahkan kami sempat datangi camat dan dijelaskan ini untuk kepentingan umum," imbuhnya.
Sementara itu Tgk Imam yang menandatangani surat perjanjian jual-beli tanah wakaf itu, Tgk Asnawi MA mengatakan tidak mengetahui penjualan tanah ini diperuntukkan untuk pembangunan kantor PD.
"Perjanjian memang rumah sakit, kalau untuk Partai Demokrat saya tidak tau," jelas Asnawi MA.
Lanjutnya, pada saat penjualan melibatkan kepala desa dan camat pada tahun 2012 lalu. "Saya tidak mungkin jual sendiri, lebih besar mereka dengan saya. Karena mereka sudah teken, saya teken juga," ungkapnya.
Asnawi bahkan mengaku setelah penjualan tanah wakaf tersebut tidak sedikit pun menerima uang hasil penjualan tersebut. Harga tanah yang dijual seluas 560 meter ditambah harga bangunan dan tanaman sebesar Rp 728.938.760.
"Uang itu tidak ada sama saya, langsung dialihkan ke pihak lain," tutupnya.