Warok siap berkalang tanah demi membela harga diri gemblak
"Harga diri gemblak melampau istri dan anaknya. Pelecehan terhadap gemblak adalah pelecehan harga diri," kata Suharto.
Gemblak adalah pemuda tampan peliharaan warok di Ponorogo. Warok memeliharanya dengan dalih laku spiritual menjaga kesaktian. Tak ada keluarga yang menolak kala anaknya dipinang menjadi gemblak. Hidup aman dan terpandang akan menjadi imbalannya.
"Kalau menurut cerita orang tua, warok meminta sistem lamarannya seperti lamaran orang menikah. Karena keamanan minim dulu, jika ada anak di kampung yang jadi gemblak dengan sendirinya terlindungi kampung tersebut. Pada zaman-zaman dulu masyarakat mendukung tidak ada masalah," kata Suharto, pelaku kesenian Reog saat dihubungi merdeka.com, Minggu (11/5).
Di Ponorogo terdapat banyak nama warok yang terkenal kesaktiannya. Di antaranya warok Suro Menggolo, Singo Kobra, dan Suro Gentho. Semuanya adalah murid Ki Ageng Kuthu. Kala masa akhir Kerajaan Majapahit, dia memilih membangun padepokan di daerah Ponorogo. Murid padepokan Ki Ageng Kuthu terkenal sakti dan memiliki laku hidup tidak menyentuh wanita.
Menurut Suharto, pengaruh dan kesaktian warok pun menimbulkan cara pandang masyarakat yang berbeda. Di satu sisi sebagai pahlawan penjaga keamanan, di sisi lain sebagai pelaku tindak kejahatan. Kedua hal itu tidak dapat dipisahkan dalam sepak terjang kehidupan warok.
"Mereka anak didik ki Ageng Kuthu, dalam tradisi warok juga ada dua kutub hitam dan putih, warok Suro Menggolo itu membela masyarakat kalau warok Suro Gentho itu sebaliknya. Warok itu tokoh yang mendua, satu sisi spiritualis, sisi lain pemimpin begal dan pemberontak," ujarnya.
Tradisi olah kanuragan yang dimiliki warok pun dekat dengan konflik. Mereka sudah terbiasa berduel mengadu kesaktian karena persoalan gemblak. Persoalan gemblak adalah persoalan harga diri warok.
"Harga diri gemblak melampau istri dan anaknya. Pelecehan terhadap gemblak adalah pelecehan harga diri dan mereka siap berkalang tanah dengan hal itu," tegas dia.
Masih menurut Suharto, para warok pun memiliki patron yang berbeda-beda. Perbedaan patron menurun pada bentuk kesenian Reog sampai sekarang. Ada padepokan Reog yang anti diformalkan dan ada yang sebaliknya. Mereka masing-masing mendapatkan dukungan dari masyarakat.
"Kalau dulu warok-warok itu ada patronase. Ada yg membentuk gerombolan, namanya Embah Bikan warok dari Desa Pulung, dia enggak suka Reog diatur-atur. Embah Bikan kepercayaan Bupati Ponorogo dan menjadi kepala desa sejak tahun 1960-an," ujarnya.