Yang harus ada dan perlu dihapus jika UU Terorisme direvisi
Salah satunya adalah soal upaya pencegahan dan penangkapan sementara terduga teroris.
Pemerintah tengah berupaya mengkaji usulan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pemerintah ingin agar kewenangan penahanan sementara terduga teroris dimasukkan sebagai pasal baru dalam UU. Namun upaya mendorong revisi UU tentang tindak pidana terorisme ini mengalami pro kontra di masyarakat. Lalu jika UU terorisme ini direvisi, poin apa saja yang harus ditambah atau dihapus?
Pengamat intelijen Wawan Heri Purwanto mengatakan ada beberapa poin yang seharusnya dimasukkan bila nantinya UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme direvisi, salah satunya adalah soal upaya pencegahan dan penangkapan sementara untuk mendapatkan keterangan terduga teroris seperti di Singapura dan Malaysia.
"Kalau lihat Singapura dan Malaysia, orang baru indikasi ada keterlibatan teroris bisa langsung ditahan sementara karena mereka ketat sekali, kalau Indonesia harus ada dua alat bukti yang cukup. Dan itu bisa meledak duluan, kalau di sana bisa langsung ditindak," kata Wawan saat dihubungi merdeka.com, Selasa (19/1).
"Misalnya pelatihan terduga teroris bisa langsung diamankan, dari sisi pendanaan terorisme bila ketahuan bisa ditindak. Kalau ini kan latihan menggunakan senjata baru bisa ditangkap," sambungnya.
Saat dimintai tanggapan soal Kepala BIN, Sutiyoso, yang meminta kewenangan lebih supaya bisa langsung meringkus terduga pelaku teror, sebelum terjadi insiden dengan mengubah Undang-Undang Nomor 17/2011 tentang Intelijen Negara, khususnya Pasal 31 dan Pasal 34 ayat 1 c. Wawan menilai permintaan wewenang tersebut terlalu luas tafsirannya, karena sebenarnya anggota BIN memiliki peran yang tidak kalah penting dengan kepolisian.
Seharusnya, lanjut Wawan, BIN lebih baik fokus pada wewenangnya sendiri, yakni melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran tanpa melakukan penangkapan atau penahanan atas kegiatan yang diduga mengancam kepentingan dan keamanan nasional.
"Sebetulnya kalau masalah kewenangan intelijen luas itu memang, soal pendataan, masalah pendalaman informasi, penyadapan tidak dilakukan dengan menangkap atau menahan, itu untuk masalah teroris itu kalau misalnya, kan boleh nangkap kalau sama-sama polisi dan polisi harus berada di depan, ini kan menyangkut kecepatan saja," jelasnya.