Yusril: Harusnya Presiden memberikan grasi demi hukum pada Antasari
Presiden Joko Widodo mengabulkan permohonan grasi diajukan terpidana kasus pembunuhan, Antasari Azhar. Mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu pun mendapat pengurangan hukuman 6 tahun penjara.
Presiden Joko Widodo mengabulkan permohonan grasi diajukan terpidana kasus pembunuhan, Antasari Azhar. Mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu pun mendapat pengurangan hukuman 6 tahun penjara.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai seharusnya Jokowi tidak memberi grasi sesuai permohonan Antasari. Saat ini Antasari berstatus bebas bersyarat setelah bebas dari Lapas pada 10 November 2016.
"Seharusnya Presiden memberikan grasi demi hukum kepada beliau, bukan grasi biasa karena permohonan beliau," katanya kepada merdeka.com, Rabu (25/1).
Dia menjelaskan, grasi demi hukum dikenal dalam ilmu hukum sebagai tindakan yang dilakukan Presiden karena menyadari adanya ketidakadilan dalam proses peradilan seseorang.
"Bukan sebuah intervensi kepada badan peradilan, melainkan satu-satunya cara yang dapat ditempuh Presiden untuk membebaskan seseorang dari hukuman," ungkapnya.
"Grasi yang sekarang diberikan oleh Presiden nampaknya bukan grasi demi hukum seperti yang saya katakan, tetapi grasi biasa atas permohonan terpidana," tambahnya.
Meski menghargai grasi yang diberikan Jokowi, Yusril menganggap grasi itu terlambat diberikan. Antasari sendiri sudah bebas bersyarat setelah menjalani lebih separuh dari pidananya.
"Waktu selama itu telah memberikan penderitaan yang luar biasa kepada beliau," tegasnya.
Semasa dalam tahanan, Yusril mengaku sempat berdiskusi dengan Antasari soal pengajuan grasi. Saat itu Yusril merasa berat menyetujuinya karena khawatir masyarakat mengira Antasari mengakui yang didakwakan jaksa.
Namun saat itu, lanjutnya, seperti tidak ada jalan lain untuk mengakhiri status Antasari kecuali mengajukan grasi. "Sudah dua kali beliau mengajukan peninjauan kembali atau PK dan dua-duanya ditolak oleh Mahkamah Agung," tandasnya.