5 Fakta cukong danai Pilpres Jokowi dan Prabowo versi ICW
ICW berhasil mengumpulkan data mengenai total dana kampanye kedua pasangan capres-cawapres pada pilpres 2014 lalu.
Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis hasil kegiatan monitoring dan pemantauan Pilpres 2014 yang menyoroti masalah pengelolaan dana kampanye pilpres bagi masing-masing pasangan capres dan cawapres. ICW beranggapan, keberlangsungan proses demokrasi yang baik bisa dimulai dari penyelenggaraan pemilu yang transparan dan akuntabel dalam aspek pendanaannya.
ICW berhasil mengumpulkan data mengenai total dana kampanye kedua pasangan capres-cawapres pada pilpres 2014 lalu, di mana pendanaan kampanye pasangan Prabowo-Hatta mencapai total Rp 166,6 miliar, dan pasangan Jokowi-JK sekitar Rp 312 miliar.
Dalam temuannya, ICW mendapati sejumlah ketidakterbukaan sumber dana kampanye bagi masing-masing capres. ICW bahkan menjabarkan sejumlah data hasil temuan kajiannya, mengenai asal muasal sumber dana kampanye yang dimaksud tersebut.
Simak berita Prabowo Subianto selengkapnya di Liputan6.com
Berikut adalah lima fakta hasil temuan ICW mengenai kejanggalan sumber dan pengelolaan dana kampanye bagi masing-masing capres, pada pilpres 2014 yang lalu:
-
Kapan Prabowo bertemu Jokowi? Presiden terpilih Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana kepresidenan, Jakarta, Senin (8/7) siang.
-
Apa yang dibicarakan Prabowo dan Jokowi? Saat itu, mereka berdua membahas tentang masa depan bangsa demi mewujudkan Indonesia emas pada tahun 2045.
-
Kenapa Prabowo bertemu Jokowi di Istana? Juru Bicara Menteri Pertahanam Dahnil Anzar Simanjuntak menyebut, pertemuan Prabowo dengan Jokowi untuk koordinasi terkait tugas-tugas pemerintahan.
-
Bagaimana Prabowo bisa menyatu dengan Jokowi? Saat Pilpres 2019 Prabowo merupakan lawan Jokowi, namun setelah Jokowi terpilih menjadi presiden Prabowo pun merapat kedalam kabinet Jokowi.
-
Kapan Prabowo bertemu dengan KWI? Calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto menemui pengurus Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk berdiskusi terkait Pemilu 2024 di Gedung KWI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (26/1/2024).
-
Apa yang disepakati Prabowo dan KWI? Menurut laporan Antara, Prabowo bersama Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo dan pengurus Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) sepakat Pemilihan Umum 2024 harus berjalan jujur, adil, damai, dan rukun.
ICW temukan penyokong dana beridentitas fiktif
ICW menemukan data yang menunjukkan lebih dari 50 persen sumber dana kampanye kedua pasangan capres berasal dari pihak ketiga (perseorangan). Lalu berdasarkan 97 persen sampling dari kedua pasangan, ICW juga menemui sekitar 5,2 persen penyumbang dana fiktif yang tidak jelas identitasnya.
Koordinator monitoring anggaran ICW, Firdaus Ilyas bahkan menyebut jumlah pihak yang dimaksud sebagai penyumbang fiktif bagi masing-masing capres-cawapres tersebut.
"Penyumbang dana kampanye yang fikif itu di antaranya adalah 2 pihak penyumbang bagi pasangan Prabowo-Hatta, dan 3 pihak penyumbang bagi pasangan Jokowi-JK," kata Firdaus dalam acara ICW di sebuah hotel di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (15/12).
ICW menyesalkan hasil temuan ini, karena ternyata 2 kubu rival yang berkompetisi di dalam pilpres lalu tidak bisa memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas sumber dana kampanyenya masing-masing. Bahkan ICW berpendapat bahwa bisa saja ketidakterbukaan sumber aliran dana inilah salah satu penyebab bibit-bibit korupsi bagi pemerintahan yang terpilih, dan muncul di kemudian hari.
ICW juga mengindikasikan bahwa para penyumbang dana beridentitas fiktif itu, merupakan pihak-pihak yang memiliki relasi dekat dengan pasangan kandidat.
Pendapatan belanja iklan kampanye yang janggal
Koordinator monitoring anggaran ICW, Firdaus Ilyas memaparkan hasil temuan sumber aliran dana kampanye pada pilpres 2014, dari masing-masing capres-cawapres. Menurutnya, pendapatan belanja iklan kampanye Prabowo-Hatta Rajasa tidak wajar, dan terdapat lebih banyak kejanggalan daripada sumber dana pasangan Jokowi-JK.
"Pendapatan belanja iklan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta, dinilai tidak wajar dan berbeda dengan pasangan Jokowi-JK. Sejumlah temuan kami bahkan ada yang menunjukkan, bahwa identitas penyumbang dana kampanye bagi Prabowo-Hatta itu hampir semuanya berasal dari pihak yang berkantor di Midplaza 2," kata Firdaus di acara diskusi publik ICW, di sebuah hotel di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (15/12).
Sementara untuk pasangan Jokowi-JK, ICW menemukan bahwa ada sumber dana belanja iklan kampanye yang janggal, di mana ada sekitar 72 penyumbang tidak melampirkan fotokopi KTP dan NPWP. Hal ini menjadi perhatian bagi ICW, karena jika ditelisik lebih jauh, jumlah sumbangan dari para penyumbang ini jelas berkorelasi dengan komitmen perpajakan dalam kaca mata negara.
Bahkan, di antara sederetan nama penyumbang bagi kesuksesan kampanye Jokowi-JK, ada nama yang terkesan janggal yang ditemukan ICW, dengan nama donatur Nanang Supriyanto, yang tanpa kelengkapan data apapun tapi tercatat memberikan sumbangan sampai sebesar Rp 500 juta kepada pasangan Jokowi-JK.
Kejanggalan penyumbang dana kampanye dari perusahaan atau kelompok
ICW juga merilis data yang menunjukkan sederetan kejanggalan lainnya, berupa ketidaksesuaian antara penyumbang dan jumlah sumbangan. Hal ini diklasifikasikan oleh ICW dengan sejumlah modus, yang dibagi dalam kriteria; 1). Penyumbang Fiktif, 2). Ketidaksesuaian besaran sumbangan dan kemampuan ekonomi si penyumbang, 3). Penyumbang yang mengakui sumbangannya, 4). Penyumbang dengan bukti sumbangan, 5). Menyumbang sesuai nominal, 6). Menyumbang lebih dari sekali, dan 7). Penyumbang yang merupakan relasi bisnis dengan kandidat.
Pasangan Prabowo-Hatta tercatat memiliki 2 data penyumbang fiktif, 2 data penyumbang yang ternyata tidak mempunyai kemampuan secara ekonomi, 3 data tanpa pengakuan dari si penyumbang, 1 data penyumbang tanpa bukti sumbangan, dan 9 data penyumbang yang merupakan relasi dekat dari Prabowo-Hatta.
Sementara data dari pasangan Jokowi-JK, ICW mencatat 1 data penyumbang fiktif, 3 data penyumbang yang ternyata tidak mempunyai kemampuan secara ekonomi, 20 data tanpa pengakuan dari si penyumbang, 17 data penyumbang tanpa bukti sumbangan, 8 data sumbangan yang tak sesuai nominal, 8 data penyumbang yang menyumbang lebih dari sekali, dan 14 data penyumbang yang merupakan relasi dekat dengan Jokowi-JK.
Kejanggalan dana kampanye dan maksimum spot iklan
Selain aspek perolehan dana kampanye, ICW juga menelisik penggunaan dana-dana dari masing-masing tim sukses capres-cawapres tersebut. Dari situ, mereka bisa melihat aspek akuntabilitas dari masing-masing pihak yang menggunakan berbagai media terutama televisi, dalam menyiarkan ribuan janji dalam program-program kampanyenya.
ICW menyebut pelanggaran dari pasangan Prabowo-Hatta, berupa batasan maksimum spot iklan, yang ditemui pada tanggal 24 Juni 2014. Pelanggaran itu dilakukan dengan menampilkan sebanyak 28 spot iklan, di salah satu tv swasta.
Sementara untuk pasangan Jokowi-JK, pelanggaran akan batasan maksimum penayangan iklan kampanye, paling banyak terjadi pada tanggal 3 Juli 2014. Saat itu, 47 spot iklan ditayangkan oleh salah satu stasiun tv swasta, guna mendukung program kampanye Jokowi-JK.
Masing-masing capres diwarnai gratifikasi
ICW menemukan sejumlah data, yang menjelaskan bahwa penggunaan dana kampanye pasangan Prabowo-Hatta tidak realistis. Berdasarkan data dari KPU, ternyata Prabowo-Hatta mengaku hanya mengeluarkan dana sekitar Rp 90 miliar, sementara jumlah iklan televisi yang menayangkan kampanye mereka ditaksir lebih mahal dari jumlah tersebut
ICW mengindikasikan bahwa televisi yang berafiliasi dengan pasangan Prabowo-Hatta (VIVA Grup milik ARB, dan MNC grup milik HT), ternyata memberikan gratifikasi semacam harga khusus, yang menunjukkan dukungan mereka pada pasangan Prabowo-Hatta. Dari hal tersebut, ICW beranggapan bahwa laporan mengenai penggunaan dana kampanye oleh kubu Prabowo-Hatta, dinilai tidak realistis karena banyaknya ketidaktransparanan.
Sementara itu, tim sukses dan kubu-kubu yang pro terhadap pasangan Jokowi-JK, diindikasi oleh ICW juga telah melakukan praktik gratifikasi, dari sebuah stasiun tv swasta (Metro tv) yang bos besarnya merupakan bagian dari kubu Jokowi-JK. Hal itu lah yang menyebabkan belanja iklan pada Metro tv, jauh lebih kecil dibandingkan dengan stasiun tv lain pada periode tersebut.