Analisis Pakar soal Efek Buruk Secara Politik atas Ucapan Jokowi Presiden Boleh Kampanye dan Memihak
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyoroti penyataan Jokowi soal Presiden boleh kampanye dan memihak.
Dengan pernyataan tersebut, Jokowi diduga bakal mengarahkan dukungan ke Prabowo-Gibran.
Analisis Pakar soal Efek Buruk Secara Politik atas Ucapan Jokowi Presiden Boleh Kampanye dan Memihak
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyoroti penyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan presiden boleh berkampanye dan memihak kepada salah satu pasangan calon (paslon) dalam Pilpres 2024.
- Analisis Pengamat Politik Soal Menteri Presiden Jokowi di Bursa Kabinet Prabowo
- Anies Minta Pakar Hukum Tata Negara Kaji Pernyataan Jokowi soal Presiden Boleh Memihak dan Kampanye
- Jokowi Sebut Presiden Boleh Kampanye dan Memihak, Anies: Negara Ini Diatur Tidak Pakai Selera!
- Jokowi Sebut Presiden Boleh Kampanye dan Memihak, Timnas AMIN: Secara Etik Sebaiknya Tidak Terlibat
Dia menilai pernyataan Jokowi bisa merusak etika bernegara.
Dengan pernyataan tersebut, Jokowi diduga bakal mengarahkan dukungan ke pasangan calon presiden-wakil presiden 02 Prabowo-Gibran.
"Tapi problematikanya bukan problem normatif peraturan perundang-undangan, problemnya adalah kerusakan etika dan moral karena presiden, satu akan mendukung anaknya," ujar Feri dalam keterangannya, Kamis (25/1).
Rusak Sistem Kepartaian
Dia menjelaskan pernyataan Jokowi juga berpotensi merusak sistem kepartaian. Sebab, kata dia, idealnya seorang presiden mestinya mendukung calon yang diajukan partainya. Namun faktanya, Jokowi justru mendukung calon presiden yang diusung oleh partai lain.
“Ini kan kerusakan etika berpolitik, berpartai dan letak kesalahan pada panggilan etika dan moral,” ujar Feri.
Feri melihat sampai saat ini Jokowi tidak menjalankan nilai-nilai moral bernegara atau memberikan contoh dalam beretika politik di Indonesia.
Aturan di UU Pemilu soal Presiden Berkampanye
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas itu menerangkan, terdapat aturan hukum yang melarang pejabat negara menunjukkan keberpihakannya terhadap peserta pilpres.
Hal itu diatur dalam Pasal 282 dan 283 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Adapun Pasal 282 berbunyi Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye.
Selain Pasal 283 Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye.
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.”
Meski begitu, Feri mengaku ketentuan itu bisa gugur jika mereka cuti dari jabatannya dan tidak menggunakan fasilitas negara. Sebab, hal itu tertuang dalam aturan dalam Pasal 281.
Menurut ketentuan dimaksud, kata Feri, memberikan kesan Jokowi tidak melanggar aturan. "Namun semua keberpihakan Jokowi itu berbenturan dengan etika berpolitik dan bernegara," pungkas Feri Amsari.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, tidak ada aturan yang melarang pejabat negara untuk memihak dan berkampanye mendukung salah satu pasangan calon tertentu di Pemilu 2024.
Hal itu dia sampaikan saat menanggapi pernyataan Menko Polhukam Mahfud Md soal banyaknya menteri di kabinet Jokowi yang secara terang mendukung kandidat tertentu meski bukan bagian dari tim sukses.
"Itu hak demokrasi setiap orang, setiap menteri sama saja, presiden itu boleh loh kampanye, presiden boleh loh memihak!,"
kata Jokowi di Halim Perdanakusuma Jakarta, Rabu (24/1).