Aturan verifikasi parpol dan keterwakilan perempuan di UU Pemilu juga digugat ke MK
Aturan verifikasi parpol dan keterwakilan perempuan di UU Pemilu juga digugat ke MK. Sebelumnya, UU Pemilu juga telah digugat ke MK. Pasal yang digugat oleh ACTA adalah menyangkut pasal 222 yang mengatur tentang presidential threshold 20 persen.
Mahkamah Konstitusi (MK) akan kembali menggelar judicial review Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 pemilihan umum pada 5 September 2017. Kali ini, pasal yang digugat yakni menyangkut syarat verifikasi partai politik dan keterwakilan perempuan yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang melakukan gugatan terhadap pasal 173 ayat (3) juncto pasal 173 ayat (1) UU Pemilu dan Pasal 173 ayat (2) huruf E di UU Pemilu.
Kuasa hukum PSI Dini Shanti Purwono mengatakan, norma verifikasi partai diatur dalam pasal 173 ayat (3) juncto pasal 173 ayat (1) UU Pemilu. Ketentuan tersebut diskriminatif ketika hanya berlaku untuk partai baru. Dini menilai, verifikasi partai politik harus diberlakukan ke semua partai politik.
"Meski partai peserta Pemilu 2014 lalu sudah melakukan dan lolos dalam verifikasi partai, namun hal tersebut tidak menjamin bahwa partai politik tersebut masih tetap memenuhi persyaratan yang berlaku pada saat ini mengingat adanya dinamika dan perubahan yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Tidak hanya di internal partai, kondisi demografi Indonesia juga sudah berubah," ungkap Dini dalam siaran persnya, Selasa (29/8).
Misalnya, tambah Dini, faktor perubahan demografi penduduk, pemekaran daerah, dan perubahan kepengurusan di partai-partai politik dalam kurun waktu lima tahun sejak verifikasi terakhir dilaksanakan juga harus diperhitungkan.
Oleh karenanya, Dini berharap, MK bisa membatalkan ketentuan tersebut. Sehingga semua partai calon peserta pemilu diperlakukan sama. Untuk diketahui, agar bisa lolos sebagai peserta pemilu, partai harus memiliki sejumlah persyaratan. Di antaranya memiliki kepengurusan di semua provinsi, kepengurusan di 75 persen Kabupaten/kota, kepengurusan di 50 persen kecamatan, dan memiliki sekurang-kurangnya 1.000 anggota atau 1/1000 dari jumlah penduduk.
Selain norma terkait verifikasi partai yang hanya mewajibkan partai baru, PSI juga menggugat pasal 173 ayat (2) huruf E yang mengatur keterwakilan perempuan. Dini menjelaskan, syarat yang mewajibkan keterwakilan 30 persen perempuan hanya di kepengurusan pusat merupakan tindakan diskriminatif. Sebab, kans para 'srikandi' untuk terlibat aktif dalam kepengurusan di tingkat daerah menjadi terbatasi.
"Dengan kewajiban 30 persen keterwakilan di semua level kepengurusan, partai menjadi memiliki tanggung jawab untuk mengkader perempuan. Dengan pasal 173 ayat (2) huruf E yang ada sekarang kami jadi merasa tidak memiliki payung hukum untuk mendorong affirmative action, di mana keterwakilan perempuan harus terjamin," tegas Dini.
Dini menambahkan, ketentuan tersebut juga dinilai tidak sejalan dengan pasal 245 di UU yang sama. Yakni, partai memiliki kewajiban mengalokasikan kursi calon legislatifnya ke perempuan sebanyak 30 persen. Nah, dengan minimnya jumlah perempuan di kepengurusan, upaya untuk memenuhi kuota tersebut akan menjadi sulit.
UU Pemilu yang baru disahkan mengabaikan hak dan kepentingan perempuan pada tingkatan provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Menurut Dini, perempuan dan laki-laki adalah sama-sama merupakan warga negara dan karenanya memiliki hak-hak kewarganegaraan dan hak politik yang sama di negara Indonesia.
"Tak boleh ada diskriminasi politik hanya karena perbedaan jenis kelamin, sebagaimana juga tidak dibenarkan diskriminasi terhadap perbedaan agama, suku, bahasa, kelas ekonomi, ras, dan lain-lain. Karena hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia secara universal dan juga UUD 45," ujarnya.
Pada kesempatan sama, Sekjen PSI, Raja Juli Antoni, menghargai dukungan sayap perempuan dari beberapa partai politik lain yang telah menyatakan dukungannya secara terbuka terhadap permohonan uji materi untuk kuota perempuan di kepengurusan partai hingga ke kecamatan tersebut.
"Kami mengajak seluruh partai lain untuk mendukung upaya konstitusional kami ini, kami siap bekerja sama untuk memastikan partisipasi perempuan dalam politik agar politik di negeri ini lebih manusiawi dan sejalan dengan rasa keadilan," ujar Raja Antoni.
Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hari ini (29/8) menerima surat Panggilan Sidang dari Mahkamah Konstitusi (MK) terkait permohonan Judicial Review (JR) Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945.
Surat Panggilan Sidang dari MK No 472.60/PAN,MK/8/2017 ditujukan kepada kuasa hukum PSI, Jaringan Advokasi Rakyat (Jangkar Solidaritas), yang terdiri dari; Surya Tjandra, Dini Shanti Purwono, Kamaruddin, Nasrullah Nur, Rian Ernest, Viani Limardi dan I Nengah Yasa Adi Susanto.
Sebelumnya, UU Pemilu juga telah digugat ke MK. Pasal yang digugat oleh ACTA adalah menyangkut pasal 222 yang mengatur tentang presidential threshold 20 persen.