Menkum Janji Patuhi Rekayasa Konstitusi dari MK saat Revisi UU Pemilu: Pasti akan Dipenuhi
Menkum memastikan revisi Undang-Undang (UU) tentang Pemilihan Umum (Pemilu) akan berpedoman pada lima rekayasa konstitusional yang telah diberikan MK.
Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas memastikan revisi Undang-Undang (UU) tentang Pemilihan Umum (Pemilu) akan berpedoman pada lima rekayasa konstitusional yang telah diberikan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Tidak boleh rekayasa konstitusional itu disahkan kepada perolehan suara ataupun kursi, kan itu intinya. Nah karena itu pasti ini akan dipenuhi," ujar Supratman saat ditemui usai acara Pencanangan Komitmen Bersama Pembangunan Zona Integritas dan Launching Transformasi Digital Kemenkum di Jakarta dilansir Antara, Selasa (7/1).
Pihaknya menghormati dan mematuhi putusan MK yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold karena dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Putusan MK, kata dia, bersifat final dan mengikat sehingga tidak bisa ada upaya hukum lainnya.
Untuk itu, Menkum telah menugaskan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Dirjen PP) Kementerian Hukum untuk mengkaji putusan MK.
Pasalnya, kata dia, walaupun inisiatif untuk membuat perubahan UU tentang Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, namun Pemerintah tetap harus melakukan persiapan.
"Oleh karena itu nanti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga pasti melakukan persiapan," ucap dia.
Dalam putusan mengenai presidential threshold, Supratman menjelaskan MK tidak serta-merta menghapus ambang batas dan memungkinkan semua partai politik untuk bisa mencalonkan presiden.
Namun, dia mengungkapkan bahwa MK telah memberi ruang kepada pembentuk UU, yakni DPR bersama dengan Pemerintah untuk melakukan rekayasa konstitusional dengan mempedomani lima hal.
"Tetapi apakah nanti semua partai politik masing-masing boleh mencalonkan? Nah, nanti akan dibahas pada revisi UU tentang pemilu, partai politik, maupun pilkada," tutur Menkum.
Di sisi lain, meskipun nantinya tidak ada presidential threshold, Menkum menekankan calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres) tetap membutuhkan dukungan kuat dari parlemen.
Apalagi, kata dia, para capres dan cawapres tetap menginginkan program yang diusungnya bisa mendapatkan dukungan, termasuk pembiayaan dan regulasi, di mana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disetujui bersama-sama dengan DPR.
"Oleh karena itu dukungan politik di parlemen pasti sangat dibutuhkan. Jadi, semua capres akan melakukan hal yang sama," ujar Supratman.
Lima Rekomendasi MK
Sebelumnya, MK memberi lima poin pedoman rekayasa konstitusional (constitutional engineering), menyusul penghapusan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 mengatakan pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional dapat dipertimbangkan pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membludak.
"Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang, dalam revisi UU Nomor 7 Tahun 2017, dapat melakukan rekayasa konstitusional dengan memperhatikan hal-hal berikut," kata Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (2/1).
Lima poin pedoman Mahkamah bagi pembentuk undang-undang melakukan rekayasa konstitusional tersebut adalah pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud, termasuk perubahan UU Pemilu, melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).