Anggota DPR Tanggapi Putusan MK: Presidential Threshold 20 Persen Implementasi UUD 1945
Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Golkar Zulfikar Arse Sadikin mengatakan pihaknya menetapkan ambang batas presiden sesuai UUD 1945.
Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Golkar Zulfikar Arse Sadikin mengatakan pihaknya menetapkan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagai implementasi dari UUD 1945.
Untuk itu, Zulfikar mengaku kaget Mahkamah Konstitusi menghapus presidential threshold 20 persen dan menganggapnya inkonstitusional. Dia menjelaskan, DPR dalam merumuskan UU Pemilu telah merujuk pada pasal 6A ayat 1 sampai 5 UUD 1945.
"Presidential threshold itu sebenarnya dari isi pasal 6 dari tata cara sehingga ya kami sebagai pembentuk UU itu sah karena itu tadi sebagai implementasi UUD 1945 pasal 6A ayat 5," kata Zulfikar kepada merdeka.com, Kamis (2/1).
Selain itu, Zulfikar menjelaskan alasan DPR menerapkan ambang batas pencalonan Presiden 20 persen. Alasan pertama, presidential threshold bertujuan agar presiden terpilih mendapatkan dukungan kuat dari parlemen.
Hal ini dikarenakan partai politik harus membentuk koalisi sebagai syarat mengantongi 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya untuk mengusung paslon Capres-Cawapres.
Dengan koalisi partai di DPR yang kuat, kata Zulfikar, maka Presiden terpilih akan mendapatkan dukungan kuat pula menjalankan pemerintahan. "Ada kekuatan legislatif mendukung presiden terpilih," ujar Zulfikar.
Alasan kedua, menurut dia, presidential threshold 20 persen merupakan jembatan untuk mengakomodasi pasal 6A ayat 3 dan 4 UUD 1945.
Adapun bunyi pasal 6A ayat 3 UUD 1945 berbunyi 'Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden'.
"Itu ada kaitannya dengan maksud pemilu serentak. Satu menganut mayoritas mutlak 50 persen plus 1 tersebar di 20 persen provinsi," papar Zulfikar
Pilpres Bisa Terus 2 Putaran
Ketua DPP Golkar ini melanjutkan, bila presidential threshold dibuat menjadi 0 persen dapat membuat gelaran Pilpres terus-terusan dua putaran. Sebab, terlalu banyak tokoh yang diusung partai politik menjadi calon Presiden.
"Kita dihadapkan pada kemungkinan pilpres yang serentak dengan legislatif itu bisa terjadi dua putaran terus," ungkap dia.
Lebih lanjut, Zulfikar mempertanyakan pertimbangan MK menganggap presidential threshold dihapus lantaran inkonstitusional. Dia menilai alasan MK itu perlu diulas dalam dua sisi. Di antaranya, apakah MK mempersoalkan besaran ambang batas 20 persen atau penerapan ambang batasnya.
"Kalau inkonstitusional ambang batasnya, tidak bisa membuat besaran presentasenya. Kalau yang dinyatakan besaran presidential threshold-nya ya kita pembentuk UU secara normatif masih bisa membuat besaran lebih kecil," tutup Zulfikar.
Oleh sebab itu, Komisi II DPR bakal mendalami terlebih dahulu poin-poin putusan MK sebelum menentukan sikap untuk merevisi UU Pemilu.
Rekomendasi MK ke DPR dan Pemerintah
Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) 20 persen. Dengan putusan ini, MK memutuskan semua partai politik peserta pemilu memiliki hak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Putusan ini diumumkan Ketua MK Suhartoyo dalam sidang putusan atas perkara nomor perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (28/2).
MK juga memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak.
Berikut usulan dari MK ke DPR dan Pemerintah:
Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Dalam Putusan ini, terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).