Yusril: Saya Ramalkan MK Batalkan Lagi Norma UU Pemilu yang Mengandung Presidential Threshold
Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, bakal ada perubahan terhadap Pasal 222 UU No. 17 Tahun 2017 tentang presidential threshold
Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, bakal ada perubahan terhadap Pasal 222 UU No. 17 Tahun 2017 tentang presidential threshold yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam UU Pemilu.
Yusril menyebut, pemerintah masih melakukan konsolidasi internal terkait putusan MK. Saat ini, kata dia, menteri-menteri masih melakukan konsolidasi dan membahas bagaimana perubahan terhadap pasal terkait presidential threshold akan dilaksanakan.
"Saya berkeyakinan tentu akan ada perubahan terhadap Pasal 222 UU Pemilu dan ini bisa muncul sebagai inisiatif dari pemerintah, bisa juga muncul dari Dewan Perwakilan Rakyat," kata Yusril dalam keterangannya, Rabu (8/1).
Menurut dia, baik pemerintah dan DPR tentu akan mendengar semua masukan dan pertimbangan yang disampaikan semua pihak dan pemangku kepentingan yang ada. Termasuk dari partai politik peserta pemilu dan partai politik non peserta pemilu, para akademisi, hingga tokoh-tokoh masyarakat.
"Bagaimana sebaiknya kita merumuskan satu norma baru pengganti pasal 222 UU Pemilu dengan rumusan-rumusan yang sesuai dengan perkembangan zaman ke depan dan pula sesuai dengan lima rekayasa konstitusional atau "constitutional engineering" dalam pertimbangan hukum putusan MK," kata Yusril.
Kembalikan PT Sia-Sia
Yusril berpandangan, setiap keinginan untuk kembali menghidupkan presidential threshold setelah adanya putusan MK bisa-bisa saja disahkan oleh DPR. Namun, Yusril meyakini jika pembatasan itu kembali muncul, maka MK akan membatalkannya.
"Kalau ada pihak yang kembali mengajukan pengujian kepada MK, saya dapat membayangkan atau meramalkan bahwa kemungkinan besar MK akan membatalkan kembali norma UU yang mengandung presidential threshold itu," tutur Yusril.
Pemerintah Patuh Putusan MK
Yusril mengatakan, presidential threshold sejatinya memang tidak ada jika menggunakan tafsir tematik dan sistematik dengan cara menghubungkan pasal-pasal pemilu dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 dan pasal pengaturan tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A, yang menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum dilaksanakannya pemilihan umum (anggota DPR dan DPRD).
Tetapi, menurut Yusril, di situ lah ada rekayasa konstitusional yang dilakukan pembentuk undang-undang untuk membatasi capres-cawapres sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu. Rekayasa sebelumnya itu sebelumnya dibenarkan MK dengan alasan untuk memperkuat sistem presidensial.
Namun Putusan MK No 62/PUU-XII/2024 tanggal 2 Januari 2025 yang lalu justru mengubah pendirian MK selama ini.
"Setelah 32 kali diuji, baru pada pengujian yang ke 33 MK mengabulkannya. Jadi ada "qaul qadim" atau pendapat lama dan "qaul jadid" atau pendapat baru di MK," kata Yusril.
Yusril menyatakan, pemerintah menghormati putusan MK yang menyatakan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bertentangan dengan UUD 1945.
"Apapun putusan yang diambil mahkamah, pemerintah akan patuh pada Mahkamah Konstitusi, dan kita tahu putusan MK adalah final dan binding dan tidak ada upaya hukum apa pun yang dapat dilakukan," ucap Menko Yusril.
Usulan MK
Sebelumnya, MK memberi lima poin pedoman rekayasa konstitusional (constitutional engineering), menyusul penghapusan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 mengatakan pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional dapat dipertimbangkan pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membludak.
"Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang, dalam revisi UU Nomor 7 Tahun 2017, dapat melakukan rekayasa konstitusional dengan memperhatikan hal-hal berikut," kata Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (2/1).
Lima poin pedoman Mahkamah bagi pembentuk undang-undang melakukan rekayasa konstitusional tersebut adalah pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud, termasuk perubahan UU Pemilu, melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).