MK Hapus Presidential Threshold 20%, Ganggu Soliditas KIM dan Pengaruh Prabowo di Koalisi?
Penghapusan ambang batas presiden itu diprediksi bisa berpengaruh pada koalisi besar yang sedang dibangun Prabowo.
Dua peristiwa politik belakangan mencuat dan memantik perdebatan di kalangan masyarakat, akademisi, dan politisi. Wacana pengembalian pemilihan kepala daerah melalui DPRD dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen menjadi sorotan utama.
Dalam beberapa minggu terakhir, muncul usulan dari Presiden Prabowo Subianto agar mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah ke DPRD. Salah satu alasannya adalah efisiensi anggaran dan mengurangi potensi politik uang.
Namun, wacana ini mendapat sorotan dari berbagai pihak. Kelompok masyarakat sipil menyebutnya sebagai langkah mundur dari demokrasi.
Di sisi lain, MK membuat keputusan mengejutkan dengan menghapus presidential threshold 20 persen. Keputusan ini disambut positif oleh partai partai kecil karena bisa lebih leluasa untuk mencalonkan presiden.
Kedua peristiwa ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian besar masyarakat menilai bahwa wacana pilkada lewat DPRD adalah langkah mundur, sedangkan penghapusan presidential threshold dinilai sebagai peluang untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
Sebelum MK mengeluarkan putusan, pada 5 hari lalu Presiden Prabowo Subianto menggelar pertemuan dengan sejumlah ketua umum partai politik Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Pertemuan digelar di kediaman Kertanegara IV, Jakarta Selatan, Sabtu 28 Desember 2024.
Pertemuan berlangsung secara tertutup sejak pukul 17.00 WIB. Setelah hampir 2 jam pertemuan, satu persatu ketua umum KIM Plus meninggalkan kediaman Presiden Prabowo Subianto.
Tampak yang pertama meninggalkan lokasi yakni Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. Kemudian disusul Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Tak berselang lama, Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono.
Lalu Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI yang mewakili Partai NasDem, Vicktor Laiskodat. Adapun dari Gerindra juga terlihat Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani dan Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad.
Dampak Putusan MK
Peneliti lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad menilai, dua peristiwa politik ini adalah rangkaian berbeda. Menurutnya, Prabowo menghembuskan itu isu agar koalisinya lebih kuat di daerah.
"Itu dua hal yang berbeda. Isu penghapusan pemilihan langsung kepala daerah dihembuskan Prabowo. Itu adalah aspirasi Prabowo. Aspirasi itu menunjukkan Prabowo ingin punya kaki lebih kuat di daerah," kata Saidiman saat dihubungi, Sabtu (4/1).
Menurutnya, jika pemilihan kepala daerah melalukan DPRD, maka ketum-ketum partailah yang akan berkuasa penuh untuk menentukan siapa kepala daerah.
"Dan ketua-ketua partai, kecuali PDI Perjuangan, relatif ada di bawah kendali Prabowo sebagai presiden. Artinya, ide mengenai Pilkada tak langsung adalah untuk memperkuat kekuasaan Prabowo," ucapnya.
Sementara, dia melanjutkan, penghapusan ambang batas pemilihan presiden itu bisa berpengaruh pada koalisi besar yang sedang dibangun Prabowo. Dengan tidak adanya presidential threshold, maka semua partai bisa mengajukan calon presidennya sendiri.
"Ini bisa mendorong kompetisi yang lebih natural di kalangan partai politik. Dan itu sehat untuk demokrasi," ucapnya.
Menurut Saidiman, apakah penghapusan ambang batas ini dibahas dalam pertemuan Prabowo dan KIM, bisa-bisa saja. Sebab, ia menilai Prabowo terlihat belum selesai memperkuat soliditas parpol pendukungnya.
"Karena kalau kita lihat, sampai hari ini, Prabowo kelihatannya belum selesai dalam memperkuat soliditas partai-partai pendukungnya," tukas Saidiman.
MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen
Sebelumnya, MK mengabulkan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk seluruhnya.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
MK berpendapat, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut MK, kata dia, Pasal 222 yang mengatur terkait persyaratan ambang batas pencalonan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol dengan minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tegas Suhartoyo.
Sebagai informasi, putusan tersebut dibacakan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Diketahui, uji materi itu akhirnya dikabulkan MK setelah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima.