Sejarah Presidential Threshold 20 Persen Hingga Akhirnya Dihapus MK
Aturan presidential threshold sering kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejak pemilihan presiden secara langsung pertama kali digelar pada 2004, presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden menjadi salah satu aturan krusial dalam sistem politik Indonesia. Kebijakan ini telah melalui berbagai tahapan perubahan, perdebatan, dan gugatan hukum.
Presidential threshold mensyaratkan partai politik atau koalisi partai memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Ketentuan ini sering menjadi perdebatan, terutama menjelang pemilu. Karena dianggap membatasi pilihan rakyat dan mempersempit kompetisi politik pencalonan presiden.
Pemilihan presiden langsung pertama kali diatur melalui UU No. 23 Tahun 2003. Dalam pemilu 2004, ambang batas yang ditetapkan adalah 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah nasional. Saat itu, tujuannya adalah untuk menghindari munculnya terlalu banyak calon presiden yang dapat memecah suara rakyat dan mempersulit proses pemilihan.
Pada Pemilu 2009, threshold ini dinaikkan menjadi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional melalui UU No. 42 Tahun 2008. Peningkatan ini bertujuan untuk menyederhanakan jumlah pasangan calon.
Namun, perubahan ini juga memunculkan kekhawatiran bahwa aturan tersebut terlalu membatasi partisipasi politik dan menghalangi munculnya calon alternatif.
Pemilu 2009 menjadi momen pertama penerapan threshold 20 persen. Hanya beberapa partai besar dan koalisi yang mampu mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.
Dalam pemilu tersebut, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang diusung oleh koalisi partai besar berhasil memenangkan pemilu.
Penerapan threshold ini menunjukkan kekuatan partai politik besar dalam menentukan arah pemilihan presiden. Partai kecil yang tidak mampu memenuhi ambang batas harus bergabung dalam koalisi.
Pada Pemilu 2014, presidential threshold 20 persen tetap diberlakukan. Pemilu ini diwarnai dengan persaingan ketat antara pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang didukung oleh dua koalisi besar.
Kondisi serupa terjadi pada Pemilu 2019. Dengan threshold yang sama, hanya dua pasangan calon yang muncul, yakni Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Situasi ini memunculkan kritik bahwa hanya calon dari partai besar yang memiliki kesempatan untuk maju.
Bolak Balik Diuji di MK
Aturan presidential threshold sering kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Para penggugat berpendapat bahwa ambang batas ini bertentangan dengan prinsip demokrasi karena membatasi partisipasi politik. Namun, MK puluhan kali selalu menolak gugatan tersebut.
Pada Pilpres 2024, sistem presidential threshold 20 persen masih dipertahankan. Banyak kritikan mencuat bahwa aturan ini menjadi salah satu penyebab minimnya calon presiden yang muncul, sehingga pilihan rakyat menjadi terbatas.
Hingga akhirnya, kini MK mengabulkan gugatan uji materi penghapusan treshold 20 persen itu pada Kamis (2/1). Gugatan itu diajukan empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, dkk.
Mereka menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Putusan itu diputuskan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.
Pasal 222 UU Pemilu mengatur syarat capres-cawapres bisa maju Pilpres bila diusung partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
"Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya," bunyi pasal tersebut.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan norma Pasal 222 dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK sekaligus memerintahkan agar putusan mereka dimuat dalam berita negara sebagaimana mestinya.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Suhartoyo didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1).
Pertimbangan MK
Sementara, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan ketentuan ambang batas dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) itu bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.
Selain itu, MK beranggapan ambang batas tersebut juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945
"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," ujar Saldi Isra.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Mahkamah juga menilai dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas pencalonan Capres-Cawapres (presidential threshold) terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.
Saldi Isra menilai bila hanya dua paslon, masyarakat mudah terbelah dan jika tidak diantisipasi maka bisa mengancam kebhinekaan Indonesia.
"Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal," papar Saldi.
Untuk itu, Saldi menyimpulkan mempertahankan ambang batas Presiden itu berpotensi menghalangi hak politik rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan Capres-Cawapres.
“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” sebut Saldi.