Presidential Threshold 20 Persen Akhirnya Dihapus Setelah 27 Kali Digugat
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan untuk menghapus ketentuan ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) 20 persen.
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan untuk menghapus ketentuan ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) 20 persen. Hakim MK mengabulkan gugatan ambang batas setelah digugat sebanyak 27 kali.
Putusan ini diumumkan dalam sidang putusan atas perkara nomor perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (28/2).
Presidential threshold, yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sebelumnya mensyaratkan partai politik atau koalisi partai memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Ketentuan ini sering dikritik karena dianggap membatasi kompetisi politik dan menguntungkan partai-partai besar.
MK sebelumnya pernah 27 kali menolak gugatan untuk menghapus presidential threshold 20 persen. Salah satu penggugatnya pada tahun 2023 adalah seorang guru honorer bernama Herifuddin Daulay, meminta MK menyatakan Pasal 222 inkonstitusional.
Pasal tersebut mengatur bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden bisa dilakukan jika partai politik (parpol) atau gabungan parpol punya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional.
Dalam amar putusannya, MK menolak gugatan Herifuddin. "Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman, Selasa (28/2).
Dengan demikian, ketentuan presidential threshold tetap berlaku dan bakal digunakan dalam Pemilu 2024. Dalam pertimbangannya, MK menyebut bahwa pasal terkait presidential threshold itu sudah berulang kali digugat.
"Sampai sejauh ini, norma dimaksud pernah diuji konstitusionalitasnya sebanyak 27 permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Saldi mengatakan, merujuk pada 27 putusan tersebut, pada intinya MK berpendirian bahwa presidential threshold 20 persen dari kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional adalah konstitusional, meski terdapat dua hakim konstitusi yang berpendapat lain (dissenting opinion). Pendirian MK tersebut tidak berubah hingga saat ini. Dengan demikian, pendirian itu berlaku terhadap gugatan yang dilayangkan Herifuddin.
MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen
Hingga akhirnya, kini MK mengabulkan gugatan uji materi penghapusan treshold 20 persen itu yang diajukan empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, dkk.
Mereka menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Putusan itu diputuskan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.
Pasal 222 UU Pemilu mengatur syarat capres-cawapres bisa maju Pilpres bila diusung partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
"Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya," bunyi pasal tersebut.
Dalam amat putusannya, MK menyatakan norma Pasal 222 dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK sekaligus memerintahkan agar putusan mereka dimuat dalam berita negara sebagaimana mestinya.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Suhartoyo didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1).
Pertimbangan MK
Sementara, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan ketentuan ambang batas dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) itu bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.
Selain itu, MK beranggapan ambang batas tersebut juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945
"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," ujar Saldi Isra.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Masyarakat Terbelah
Selain itu, Mahkamah juga menilai dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas pencalonan Capres-Cawapres (presidential threshold) terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.
Saldi Isra menilai bila hanya dua paslon, masyarakat mudah terbelah dan jika tidak diantisipasi maka bisa mengancam kebhinekaan Indonesia.
"Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal," papar Saldi.
Untuk itu, Saldi menyimpulkan mempertahankan ambang batas Presiden itu berpotensi menghalangi hak politik rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan Capres-Cawapres.
“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” sebut Saldi.