MK Hapus Presidential Threshold 20%, DPR: Bagus Sebagai Bahan Evaluasi Susun UU Pemilu
Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus presidential threshold 20 persen bahan evaluasi menyusun UU Pemilu.
Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) 20 persen baik sebagai bahan evaluasi dalam menyusun UU Pemilu. Dia menyebut DPR bakal segera membahas wacana revisi UU Pemilu usai putusan MK itu.
"Putusan MK kan kasus konkret. Jadi bagus sebagai bahan evaluasi dan penyusunan UU Pemilu ke depan," kata Irawan kepada merdeka.com, Kamis (2/1).
Selain itu, Irawan menyebut, DPR bakal mempertimbangkan poin putusan dan rekomendasi MK untuk merevisi UU Pemilu. Terutama Pasal 222 UU Pemilu mengatur syarat capres-cawapres bisa maju Pilpres.
"Putusan MK tersebut tentu akan menjadi bagian pertimbangan kami dalam merevisi UU Pemilu dan melakukan constitutional engineering terhadap kehidupan demokrasi konstitusional kita," papar dia.
Meski demikian, pengurus Partai Golkar ini menghormati putusan MK tersebut lantaran bersifat final dan mengikat. Irawan menduga ada beberapa alasan MK akhirnya mengabulkan gugatan pasal ambang batas Presiden tersebut meski 33 kali gugatan ditolak.
Alasan pertama, kata Irawan, MK melihat suara publik terkait terbatasnya alternatif pilihan calon Presiden dan Wakil Presiden. Kedua, presidential threshold itu membatasi pilihan pemilih karena ada nominasi beberapa partai dalam mengusung paslon.
"Kedua alasan tersebut yang mendasari MK berpendapat inkonstitusional. Nanti kita pelajari secara lengkap putusannya," tutup Irawan.
MK Hapus Ambang Batas Presiden 20%
Diketahui, MK menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. Hal ini diputuskan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK RI, Suhartoyo.
Suhartoyo menerangkan, norma pasal 222 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945.
Adapun pasal yang dinyatakan bertentangan tersebut berkaitan dengan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik. Pasal 22 UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi sebagai berikut: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya."