Caleg mahasiswi cantik ini kampanyekan anti-politik uang
Dyah bercita-cita ingin memperjuangkan aspirasi kaum perempuan di DPRD Banyumas.
Masih berstatus mahasiswi Kedokteran Umum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Dyah Handayani Nastiti (22) tidak gentar bertarung memperebutkan kursi DPRD Banyumas, Jawa Tengah. Jika terpilih, dia bercita-cita ingin mewakili dan memperjuangkan suara perempuan di parlemen. Dyah tak mau bagi-bagi duit kepada warga agar dia dipilih.
Dyah merupakan caleg DPRD Banyumas dari PDI Perjuangan dari daerah pemilihan 3 yang meliputi Kecamatan Baturraden, Sumbang, Sokaraja dan Kembaran. "Saingannya cukup berat di dapil ini, karena ada incumbent dari internal partai dan juga caleg lain yang suaranya sudah terlihat. Padahal, jumlah kursi yang diperebutkan hanya 4," ujar Dyah yang mendapat nomor urut 6 ini dalam perbincangan dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.
Meski masih muda dan belum memiliki pengalaman politik, Dyah mengungkapkan, dunia politik sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan keluarganya. Ayahnya sendiri merupakan mantan Bupati Purbalingga dua periode. Sedangkan keluarga besarnya selama ini aktif di partai politik di Kabupaten Purbalingga.
"Saya sendiri memilih Banyumas, karena ada tantangan yang prosesnya memerlukan energi," kata perempuan yang hingga saat ini sudah menghabiskan dana untuk keperluan alat peraga kampanye hingga Rp 30 juta.
Menurutnya, meyakinkan rakyat untuk mengubah pola pikir masyarakat yang berpatokan pada jual-beli suara masih sangat sulit dilakukan. Dyah menggunakan strategi mendatangi warga setiap ada kegiatan di desa.
"Memang biasanya banyak warga yang selalu bilang, kalau ada uang nanti akan dipilih. Tetapi, saya berusaha menjelaskan kepada masyarakat untuk tidak selalu berpandangan seperti itu," tuturnya.
Kesulitan untuk meyakinkan pemilih agar tidak terpengaruh dengan politik uang, menurutnya, menjadi tantangan tersendiri. "Meski bukan sesuatu yang baru berhadapan dengan keadaan yang seperti ini, tetapi kita harus meyakinkan masyarakat untuk menghindari politik uang," katanya.
Sementara itu, pengamat politik Unsoed, Indaru Setyo Nugroho menilai terbukanya akses bagi kaum muda untuk masuk arena politik patut diapresiasi bersama. "Banyak partai baru dan keinginan untuk membuka selebar-lebarnya akses kepada anak muda, menjadi fenomena menarik untuk melihat proses demokratisasi saat ini," tuturnya saat dikonfirmasi.
Dia melihat fenomena ini akan semakin menambah semaraknya peta politik dengan sentuhan anak muda. "Anak muda memiliki gaya yang khas dan bisa memberi warna baru dengan metode yang digunakannya untuk melakukan pendekatan kepada massa," katanya.
Meski begitu, Indaru menyebutkan saat ini caleg muda yang berasal dari kalangan mahasiswa pun pada akhirnya dituntut mampu untuk meramu antara teori politik dan praktik yang ada di lapangan. Sebab, kondisi yang ada di lapangan tidak ada dalam teori di bangku kuliah. "Kalau pun mereka ada yang jadi, kita harus mengacungi jempol karena mereka bisa meramu dan bisa memberikan warna baru," ujar Dosen Ilmu Politik Unsoed ini.
Indaru berharap proses ini nantinya bisa menjadi pembelajaran, ketika caleg muda dari kalangan mahasiswa duduk dalam kursi parlemen. "Kita berharap ketika banyak dari mereka yang berhasil duduk di kursi parlemen, bisa diawasi bersama. Karena mereka ini akan menjadi darah baru dan memberikan warna dalam demokratisasi di parlemen," ucapnya.