Di Saat Rakyat Mengeluh, Gerindra dan PDIP Saling Tuding soal Dalang Kebijakan PPN 12%
Banyak pihak bertanya-tanya siapa inisiator dari kebijakan yang membuat rakyat menjerit.
Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 11 persen menjadi 12 persen yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025 terus menuai polemik.
Banyak pihak bertanya-tanya siapa inisiator dari kebijakan yang membuat rakyat menjerit.
Politisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saling tuding sebagai inisiator kenaikan PPN tersebut.
Tudingan tersebut bermula ketika PDIP menyatakan penolakan terhadap kenaikan PPN 12 persen, yang kemudian ditanggapi oleh Wakil Ketua Banggar yang juga Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Wihadi Wiyanto.
Gerindra sebut PPN 12% Diinisiasi PDIP
Wihadi Wiyanto menegaskan, wacana kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Payung hukum itu merupakan produk Legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh partai penguasa PDI Perjuangan (PDIP).
"Kenaikan PPN 12 persen itu merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan," kata Wihadi kepada wartawan di Jakarta, Minggu (22/12).
Wihadi menilai sikap PDIP soal kenaikan PPN sangat bertolak belakang ketika membentuk UU HPP tersebut. Terlebih, ketua panitia kerja (panja) pembahasan kenaikan PPN yang tertuang dalam UU HPP jelas dipimpin langsung oleh fraksi partai banteng merah tersebut, yakni Dolfie Othniel Frederic Palit.
"Jadi kita bisa melihat dari yang memimpin panja pun dari PDIP, kemudian kalau sekarang pihak PDIP sekarang meminta ditunda ini adalah merupakan sesuatu hal yang menyudutkan pemerintah Prabowo (Presiden Prabowo Subianto)," kata Wihadi.
Wihadi justru menegaskan jika Presiden Prabowo sebenarnya sudah 'mengulik' kebijakan itu agar tidak berdampak pada masyarakat menengah ke bawah. Salah satunya, dengan menerapkan kenaikan PPN terhadap item-item mewah.
"Sehingga pemikiran Pak Prabowo ini bahwa kalangan menengah bawah itu tetap terjaga daya belinya dan tidak menimbulkan gejolak ekonomi, ini adalah merupakan langkah bijaksana dari Pak Prabowo," kata Wihadi.
PDIP balas Gerindra Sebut PPN 12% Inisiasi Pemerintah Jokowi
Tudingan Gerindra yang mengatakan bahwa PDIP merupakan inisiator utama soal kenaikan tarif PPN menjadi 12% kemudian dibantah oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR RI fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit.
Dolfie menyebut, mulanya UU HPP adalah inisiatif pemerintah Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi.
"UU HPP merupakan UU inisiatif Pemerintahan Jokowi, yang disampaikan ke DPR tanggal 5 Mei 2021. Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP," kata Dolfie kepada wartawan, Minggu (22/12).
Dolfie mengatakan saat itu sebanyak delapan fraksi setuju yakni PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, PPP.
Hanya fraksi PKS yang menolak. Selanjutnya, kata Dia, RUU HPP dibahas bersama antara Pemerintah dan DPR RI di Komisi XI. Kemudian, disahkan dalam Paripurna tanggal 7 Oktober 2021.
"UU HPP, bentuknya adalah Ominus Law, mengubah beberapa ketentuan dalam UU KUP, UU PPh, UU PPN, dan UU Cukai. UU ini juga mengatur Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dan Pajak Karbon," terangnya.
Sebagaimana amanat UU HPP, bahwa tarif PPN pada 2025 adalah 12 persen yang sebelumnya adalah 11 persen. Namun, kata Dolfie, pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif tersebut dalam rentang 5 sampai 15 persen. Artinya bisa menurunkan maupun menaikkan.
Dia menuturkan, hal itu sesuai UU HPP pada pasal 7 ayat 3 yang mengatakan bahwa Pemerintah dapat merubah tarif PPN di dalam UU HPP dengan Persetujuan DPR. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa kenaikan atau penurunan tarif PPN sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional.
"Oleh karena itu Pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN (naik atau turun)," jelas Dolfie.
Dia melanjutkan, bila pemerintahan Presiden Prabowo tetap menggunakan tarif PPN 12 persen maka ada hal-hal yang harus menjadi perhatian sebagaimana saat membahas APBN 2025.
Hal-hal itu termasuk kinerja ekonomi nasional yang semakin membaik, pertumbuhan ekonomi berkualitas, penciptaan lapangan kerja penghasilan masyarakat meningkat, pelayanan publik yang semakin baik, serta efisiensi dan efektivitas belanja negara.
Reporter Magang: Maria Hermina Kristin