Gagal nyaleg mampukah mereka sukses bertarung di pilkada serentak?
Ada tiga variabel yang tidak bisa dianggap remeh oleh para politikus yang dulu menjadi anggota DPR RI maju pilkada.
Sejumlah politikus kawakan yang gagal kembali melenggang ke Senayan usai Pemilu Legislatif (Pileg) 2014, mencoba maju dalam bursa kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan serentak pada 9 Desember mendatang.
Meski gagal dalam Pileg 2014, semangat para politikus tersebut tidak luntur. Mampukah para politikus tersebut merebut hati rakyat di daerahnya?
Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menilai kesuksesan para politikus tersebut sangat tergantung dari beberapa faktor. Faktor pertama, menurut Emrus adalah sosok politikus tersebut. Menurutnya, apabila setelah tidak menjabat sebagai anggota DPR RI, politikus tersebut mampu membangun persepsi publik dengan baik maka masyarakat akan mempertimbangkan untuk memilihnya.
"Sangat tergantung penokohannya, secara hipotesis, mereka yang gagal dalam pileg itu hampir berpeluang gagal juga dalam pilkada. Kenapa? Karena masyarakat pernah merespon tidak menyetujui mereka. Tapi tergantung dalam satu tahun ini (jeda pileg dengan pilkada) apakah mereka bisa membangun persepsi publik atau tidak, kalau bisa membangun persepsi positif publik, mereka berpeluang menang," papar Emrus kepada merdeka.com, Senin (27/7).
Selain persepsi publik, faktor lain yang harus menjadi perhatian adalah sosok rival atau kompetitor. Menurut Emrus, rival yang memiliki karakter kuat di masyarakat dijamin sulit digoyang apabila politikus yang pernah berkantor di Senayan tersebut tidak memiliki kekuatan imbang di masyarakat.
"Jangan lupa ada variabel kompetitor. Tergantung kompetitornya sekuat apa. Kalau kompetitornya memiliki elektabilitas, popularitas tinggi, maka hampir dipastikan (Politikus yang pernah menjadi anggota DPR RI) kalah," jelas Emrus.
Emrus mencontohkan sosok Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil yang dinilai memiliki elektabilitas, integritas, serta popularitas yang sangat kuat. "Hampir dipastikan yang maju lawan Wali Kota Bandung akan kalah karena elektabilitasnya tinggi. Tapi kalau tokoh yang dihadapi itu lemah ya bisa saja menang," imbuh Emrus.
Emrus mengategorikan dua faktor tersebut sebagai variabel profesional. Selain kedua variabel tersebut, ada variabel lain yang tidak bisa dianggap sepele yakni 'serangan fajar'.
Meski ilegal, menurut Emrus aksi 'serangan fajar' masih kerap dilakukan di berbagai daerah. Aksi ini tidak bisa dianggap enteng oleh bakal calon kepala daerah, pun aparat penegak hukum.
"(Serangan fajar) Itu realita masih terjadi, ini variabel tidak bisa dianggap enteng, ini bisa menentukan, karena masyarakat kita sedang mengarah pada kapitalisasi, segala sesuatu sudah diukur dengan uang. Istilahnya 'wani piro' ini sudah membahana dari Barat sampai Timur Indonesia, memang tidak dipungkiri ada cost dalam politik, tapi yang tidak boleh itu money politiknya. Maka dari itu, KPK harus jalan, polisi harus jalan supaya tidak ada money politik ini," tutup Emrus.