Guru Besar Politik: Jangan Sampai Perbedaan Pilihan Menjadi Alasan untuk Bermusuhan
Diperlukan sikap lapang dada dalam menerima hasil pemilihan bagi seluruh pihak yang berkompetisi
Selesai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, masyarakat kembali diingatkan untuk menjaga kesantunan dan toleransi. Pilkada adalah proses politik demokratis yang melibatkan berbagai elemen dengan perbedaan latar belakang.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sri Yunanto mengatakan, bahwa sistem demokrasi dianut Indonesia menuntut toleransi terhadap perbedaan. Menurutnya, Pilkada bukan sekadar ajang memilih pemimpin tetapi juga wujud penghormatan terhadap kebhinekaan yang menjadi pilar persatuan bangsa.
- Pesan Pemerintah di hari Pencoblosan: Beda Pilihan Politik, Suami-Istri Harus Bisa Tekan Ego
- Pesan Senior PDIP untuk Calon Kepala Daerah Solo, Singgung Jokowi hingga Gibran
- Menag Minta Khatib Salat Jumat Sampaikan Pesan Pemilu Damai dan Hargai Perbedaan Pilihan Politik
- Curhat Eks Napiter Kembali ke Pangkuan NKRI Sumpah Setia pada Pancasila
"Siapa pun terpilih adalah pemimpin untuk semua, bukan hanya bagi pemilihnya. Oleh karena itu, ujaran kebencian, serangan terhadap kelompok lawan dan eksploitasi perbedaan harus dihindari. Perbedaan itu wajar karena termasuk bagian dari demokrasi dan kebhinekaan," ujar Sri Yunanto, Kamis (28/11).
Ia menegaskan pentingnya semangat kebersamaan harus tetap dijaga baik sebelum, selama, maupun setelah Pilkada. Pihak yang menang jangan sampai jemawa, dan yang kalah harus legowo. Diperlukan sikap lapang dada dalam menerima hasil pemilihan bagi seluruh pihak yang berkompetisi.
Perbedaan latar belakang, termasuk agama, suku, dan afiliasi politik, menurut Yunanto, adalah anugerah yang harus dipandang sebagai kekayaan bangsa. Perbedaan adalah keniscayaan dan elemen keindahan yang memperkaya kehidupan bersama.
"Boleh membawa identitas suku, agama, atau politik, tetapi tidak boleh ada narasi yang merendahkan kelompok lain. Dalam demokrasi, setiap suara dihormati, dan setiap perbedaan seharusnya menjadi jembatan untuk memperkuat persatuan," tuturnya.
Menanggapi dinamika politik di media sosial yang sering kali sarat dengan narasi intoleran, dirinya mengimbau masyarakat untuk lebih dewasa dalam bersikap. Dia menyatakan bahwa media sosial dapat menjadi alat untuk mempererat persatuan jika digunakan dengan bijak.
Menurut Yunanto, narasi kebencian dan provokasi tidak hanya merugikan individu tetapi juga mengancam harmoni bangsa. Dirinya mengajak masyarakat untuk tetap menjaga kesantunan dalam berkomunikasi, terutama saat membahas isu-isu politik.
"Jangan sampai perbedaan pilihan politik menjadi alasan untuk bermusuhan," tegasnya.
Setelah Pilkada, Yunanto berharap semua pihak dapat menerima hasil pemilihan dengan baik. Jika ada yang merasa dirugikan, ia mengingatkan bahwa sistem demokrasi menyediakan jalur hukum yang adil untuk menyelesaikan sengketa.
"Kalau ada pihak yang merasa tidak puas dengan hasil yang diputuskan, sampaikan kepada Bawaslu atau ajukan ke Mahkamah Konstitusi sehingga sesuai dengan jalur yang benar," jelasnya.
Yunanto juga menekankan bahwa Pilkada harus menjadi momentum untuk memperkuat persatuan bangsa. Menurutnya, perbedaan dukungan politik adalah masa lalu setelah hasil Pilkada diumumkan. Masyarakat harus fokus membangun bangsa.
"Setelah Pilkada adalah momen untuk berpikir jernih dan kembali membangun komunikasi serta persaudaraan, bukan malah memperkeruh suasana," tandasnya.