Kekhususan Aceh dibonsai, DPR Aceh gugat UU Pemilu ke MK
Polemik Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) seakan tanpa akhir. Pengesahannya sempat terseok-seok, bahkan ada empat fraksi yang walk out (WO) dari sidang peripurna.
Polemik Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) seakan tanpa akhir. Pengesahannya sempat terseok-seok, bahkan ada empat fraksi yang walk out (WO) dari sidang peripurna.
Setelah aturan presidential threshold, parliamentary threshold dan verifikasi partai, digugat ke MK, kini giliran Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) gerah dengan keberadaan Undang-Undang Pemilu, karena dinilai telah membonsai Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).
Senin siang (2/10), 7 fraksi menggelar konferensi pers hendak menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan UU Pemilu dari Aceh yang digugat oleh DPR Aceh bukan kali pertama. Sebelumnya anggota DPR Aceh dari Fraksi Partai Aceh, Kautsar dan anggota Fraksi Partai Nasional Aceh (PNA) Samsul Bahri alias Tiong sudah terlebih dahulu menggugat ke MK. Namun mereka mendaftarkan gugatan itu secara personal.
Tak berhenti di situ, gugatan itu kemudian juga dilayangkan oleh dua anggota komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, yaitu Hendra Fauzi dan Robbi Syahputra. Mereka juga didukung oleh sejumlah komisioner KIP Kabupaten/Kota. Gugatan itu masih bergulir di MK.
Sekarang, kompak 7 fraksi DPR Aceh menggugat UU Pemilu lagi. Ada tiga pengacara senior di Aceh mereka ambil menjadi pengacara, yaitu Mukhlis Mukhtar, Zaini Djali dan Baharuddin.
"Kita akan segera berangkat ke Jakarta menggugat UU Pemilu. Kita sudah ada 3 pengacara dari Aceh," kata juru bicara 7 fraksi DPR Aceh, Iskandar Usman Al Farlaki, Senin (2/10) di DPR Aceh.
Saling lempar bola panas tentang UU Pemilu yang telah membonsai kekhususan Aceh pun terjadi. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengaku sudah melakukan konsultasi dengan DPR Aceh menyangkut pasal 557 dalam UU Pemilu.
Namun, pernyataan Mendagri dibantah DPR Aceh. Sebelum pengesahan, DPR Aceh tidak pernah menerima delegasi Pansus UU Pemilu untuk melakukan konsultasi.
Saling tuding inilah yang kemudian menjadi bola liar. Seakan-akan keberadaan pasal 557 yang telah mencabut beberapa pasal tentang pemilu di UUPA, berdasarkan konsultasi dengan DPR Aceh.
"Tidak ada konsultasi dengan kita secara lembaga. Saya sudah tanya kepada Ketua, Wakil Ketua dan seluruh anggota DPR Aceh tidak pernah bertemu melakukan konsultasi," imbuhnya.
Setiap perubahan atau revisi UUPA memang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2008. Dalam pasal 6 (1) menyebutkan revisi atau pembentukan Undang-Undang atas pertimbangan DPR Aceh. Sedangkan tata cara konsultasi disesuaikan dengan tata tertib DPR RI.
"Anehnya, dalam Tatib DPR RI ini tidak mengatur. Ini niat jahat dari DPR RI, beraninya mereka tanpa konsultasi berani ambil keputusan," tukasnya.
Yang membuat DPR Aceh geram, masuknya pasal 557 itu dalam hitungan detik menjelang pengesahan. Menurut Iskandar, sebelumnya tidak ada pasal tersebut. Pasal yang telah menggerogoti regulasi kekhususan Aceh.
"Ini pasal masuk bukan pada batang tubuh, tetapi masuk belakangan, ini aneh, karena kami mengawal sejak awal UU tersebut," tegasnya.
Karena DPR Aceh melihat ada niat tidak baik dari pemerintah pusat. DPR Aceh melalui 7 fraksi akan melayangkan gugatan ke MK dalam minggu ini. Karena DPR Aceh menilai, pemerintah pusat seperti sedang mencoba menghilangkan pelan-pelan kekhususan Aceh.
"Ini politicking busuk, ingin membonsai UU kekhususan Aceh," tukasnya dengan nada tinggi.
Sekedar diketahui, bila pasal 557 diberlakukan, aturan ini dinilai dapat menggerus kekhususan Aceh dalam hal pemilihan kepala daerah dan calon legislatif Aceh. KIP Aceh misalnya, sekarang dijabat oleh 7 komisioner tidak lagi berlaku, demikian juga penamaannya harus mengikuti secara nasional.
Lainnya, kepala daerah dan anggota legislatif di Aceh wajib bisa membaca Alquran. Tidak cuma itu, Aceh juga memiliki aturan 125 persen calon anggota legislatif di tiap dapil, berbeda dengan daerah lainnya. Aturan ini tercantum dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).
Adapun bunyi pasal 557 dalam UU nomor 7 Tahun 2017 tersebut :
1. Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh terdiri atas:
a. Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh dan Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang hierarkis dengan KPU;
b. Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang hierarkis dengan Bawaslu.
2. Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh
Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya berdasarkan Undang-Undang ini.