Langkah Fahri Hamzah Dukung Keluarga Jokowi Dinilai Agar Gelora dan PKS Tampak Beda
Suka tak suka, kini FH sudah berubah dan hal itu lumrah terjadi dalam politik. Pengamat politik, Ujang Komarudin, menyebut, konsistensi itu kadang sulit dipegang bagi para politisi.
Sikap politik Waketum Gelora, Fahri Hamzah, disorot lantaran mendukung keluarga Presiden Joko Widodo di Pilkada 2020. Eks Wakil Ketua DPR itu dianggap tidak kritis lagi terhadap Jokowi seperti dulu.
Pengamat politik, Ujang Komarudin, menilai sikap Fahri bisa saja bagian dari strategi politik Partai Gelora. Menurutnya, Gelora butuh dukungan pemerintah sebagai partai baru.
-
Apa yang menurut Fahri Hamzah menjadi bukti dari efek persatuan Jokowi dan Prabowo? "Efek persatuan mereka itu luar biasa, telah melahirkan kebijakan-kebijakan yang akan menjadi game changer, perubahan yang punya efek dahsyat pada perekonomian dan masyarakat secara umum," sambungnya.
-
Bagaimana Fahri Hamzah melihat proses bersatunya Jokowi dan Prabowo? "Ini adalah dua tokoh besar. Orang hebat dua-duanya, yang selama ini oleh politik dibuat bertengkar, sekarang kita buat mereka bersatu," tutur Fahri, Minggu (28/1)
-
Kapan Hamzah Haz terpilih menjadi Wakil Presiden? Pada hari Kamis, 26 Juli 2001, Hamzah terpilih sebagai Wakil Presiden ke-9 Republik Indonesia.
-
Kenapa Amir Hamzah menjadi Pahlawan Nasional? Setelah kematiannya yang tragis, nama Amir Hamzah semakin semerbak di telinga masyarakat Indonesia. Ia juga diakui dan dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan dan Piagam Anugerah Seni. Sampai puncaknya, pada tahun 1975, nama Amir Hamzah ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
-
Siapa yang menurut Fahri Hamzah berperan penting dalam mewujudkan Indonesia menjadi negara yang diperhitungkan? Fahri pun menyebut relevansi langkah pemerintahan program kerja yang dicanangkan paslon nomor urut 2, Prabowo-Gibran dalam melanjutkan upaya mendorong kemajuan negara.
-
Kenapa KH Ahmad Hanafiah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional? Gelar tersebut diserahkan oleh Presiden RI kepada perwakilan keluarga di Istana Negara Jakarta pada Jumat (10/11) lalu.
"Sikap FH tersebut bisa saja keterpaksaan karena Geloranya ingin merapat ke kekuasaan. Sebagai partai baru Gelora butuh dukungan pemerintah," kata Ujang, Selasa (29/9).
Menurutnya, sikap tersebut dilakukan Fahri untuk pembeda dengan PKS, sebagai partai politiknya dulu. PKS kini tetap konsisten menjadi oposisi.
"Dan itu juga dilakukan untuk menjadi pembeda dengan PKS. Ketika PKS menjadi oposisi, maka Gelora akan ke pemerintah. Karena kedua partai itu beda pandangan," terangnya.
Dia menambahkan, suka tak suka, kini FH sudah berubah dan hal itu lumrah terjadi dalam politik. Ujang menyebut, konsistensi itu kadang sulit dipegang bagi para politisi.
"Politisi itu memang mudah berubah. Pagi tempe, siang kadang tahu. Sore kerupuk, malam kadang tahu bacem.
Ucapan dan tindakannya kadang-kadang berubah sesuai dengan kepentingan," kata dia.
Sedangkan, pengamat politik, Adi Prayitno, menilai pilihan sikap politik Fahri sebagai tanda pembeda posisi Gelora dan PKS. Sehingga, wajar jika Fahri terlihat ramah dengan pemerintah.
"Fahri ingin membawa Gelora punya positioning berbeda dari PKS yang antipemerintah. Wajar jika belakangan Fahri dan pemerintah terlihat intim. Pemandangan langka terutama ketika Fahri jadi wakil ketua DPR," tuturnya.
Namun, kata Adi, Fahri punya risiko dari efek inkonsistensi politik seperti itu. Tuduhan balik ke Fahri sangat keras dan publik cepat memvonis. Sedikit saja pernyataan dan gerakan politik yang tak konsisten, pasti publik mencap aneh.
"Ini yang terjadi ke Bang Fahri. Wajar publik menghakimi seperti itu. Dulu melihat Fahri dan pemerintah seperti air dan minyak mustahil gabung. Sekarang, air dan minyak bisa nyatu dengan sikap fahri yang begitu," jelas Adi.
(mdk/lia)