Membedah Taktik Jokowi Isyaratkan Tolak Pilkada 2022 dan 2023
Jokowi ingin agenda Pilkada Serentak 2024 dipertahankan seperti diatur UU Pemilu dan UU No.10 tahun 2016 tentang Pilkada.
Presiden Joko Widodo memberikan isyarat menolak pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan. Terutama aturan dalam draf Revisi UU Pemilu usulan DPR menyangkut gelaran pilkada digelar pada 2022 dan 2023.
Jokowi ingin agenda Pilkada Serentak 2024 dipertahankan seperti diatur UU Pemilu dan UU No.10 tahun 2016 tentang Pilkada.
-
Kapan Presiden Jokowi meresmikan Bandara Panua Pohuwato? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan Bandar Udara Panua Pohuwato di Provinsi Gorontalo.
-
Kenapa Serka Sudiyono diundang ke acara Presiden Jokowi? Pada acara itu, Presiden Jokowi memberikan games-games menarik. Salah seorang yang berhasil maju ke podium adalah Serka Sudiyono.
-
Apa yang ditekankan oleh Jokowi tentang UU Perampasan Aset? Jokowi menekankan pentingnya adanya undang-undang perampasan aset. Hal ini untuk memaksimalkan penyelamatan aset dan pengembalian uang negara. Hal itu diungkapkan Jokowi saat memberi pengarahan dalam Peringatan 22 Tahun Gerakan Nasional Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/4). "Terakhir saya titip upayakan maksimal penyelamatan dan pengembalian uang negara sehingga perampasan aset menjadi penting untuk kita kawal bersama," ucap Jokowi.
-
Bagaimana pengaruh Presiden Jokowi pada Pilkada Jateng? Peta kompetisi Pemilihan Gubernur Jawa Tengah berdasarkan temuan survei ini tampak masih cair. Semua kandidat masih berpeluang untuk saling mengungguli. Selain faktor popularitas calon, faktor Jokowi Effect, melalui tingkat kepuasan kepada presiden dapat berpengaruh," imbuh dia.
-
Bagaimana Presiden Jokowi mengenalkan Prabowo Subianto sebagai Presiden Terpilih? Menlu Retno mengatakan bahwa Presiden Jokowi dalam setiap kesempatan dan acara selalu mengenalkan Prabowo Subianto selaku calon presiden terpilih.
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Isyarat itu diselipkan saat pertemuan dengan mantan juru bicara tim kampanye nasional, Kamis (28/1) lalu. Sebanyak 15 orang anggota TKN diundang Jokowi ke Istana Negara.
Orang nomor 1 RI itu beralasan UU Pemilu sebaiknya tidak diubah setiap menjelang Pemilu. Jokowi heran, aturannya belum lama berjalan sudah diganti lagi. UU yang berlaku sekarang baru disahkan pada 2017 lalu.
UU yang dipakai sekarang mengamanatkan pilkada digelar serentak di seluruh provinsi, kabupaten dan kota bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, DPD dan pilpres pada 2024 yang akan datang.
Jokowi pada dasarnya tak keberatan jika DPR ingin mengubah lagi undang-undang terkait pemilihan umum. Hanya, ditekankan agar jangan ada perubahan terhadap aturan yang belum berjalan.
"Beliau mengatakan, UU Pemilu itu lebih baik jangan setiap periode itu diganti-ganti lah. Ya dia kan berdiskusi, menyampaikan kenapa kok setiap pemilu itu UUnya selalu berubah. Belum kita bisa menyesuaikan, udah diganti lagi diganti lagi," kata Politikus PPP Ade Irfan Pulungan yang hadir dalam pertemuan itu.
Alasan berikutnya adalah pandemi Covid-19. Jokowi beralasan pemerintah ingin fokus terhadap penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.
Sikap ini bisa menjadi pro kontra lantaran berbeda jelang pilkada 2020 silam. Dulu, Jokowi ngotot Pilkada harus tetap digelar karena ingin menjaga hak konstitusi warga. Lagipula tak ada satu pun yang bisa menjamin kapan pandemi berakhir.
Oleh sebab itu, Jokowi ingin meniru pilkada seperti yang dilakukan sejumlah negara maju meski di tengah pandemi.
Pernyataan Jokowi itu disampaikan lewat rapat antara pemerintah, DPR, dan KPU di hari yang sama. Ketiga lembaga sepakat untuk tetap menjalankan pilkada saat pandemi.
"Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih," kata Fadjroel Rahman.
Sikap Partai Politik
Dinamika pun terjadi antar partai politik terkait pembahasan RUU Pemilu. Ada yang mendukung, ada pula yang menolak.
Salah satunya Partai Demokrat yang mendukung penuh revisi UU Pemilu. Demokrat juga ingin, Pilkada tetap ada pada 2022 dan 2023.
"Jangan sampai pula, ada pihak-pihak yang memaksakan Pilkada Serentak 2024 hanya karena ada kepentingan pragmatis atau agenda terselubung yang tidak pro rakyat, bahkan merugikan rakyat. Misalnya, mau menjegal tokoh-tokoh politik yang dianggap potensial sebagai Capres," kata Kepala Bakomstra Partai Demokrat, Herzaky Mahendra.
NasDem juga salah satu partai yang ingin ada normalisasi di Pilkada. NasDem tak ingin beban penyelenggara pilkada menjadi tambah berat dengan digelarnya Pilkada dan pemilu nasional bersamaan pada 2024 mendatang.
Sekretaris Fraksi NasDem DPR RI Saan Mustofa mengatakan, pertimbangan Pilkada dipisah dari Pilpres dan Pileg di 2024 adalah hal teknis kepemiluan, hingga, kualitas elektoral hingga beban penyelenggaraan.
NasDem menilai Pemilu serentak terlalu membebani penyelenggara Pemilu. Dikhawatirkan akan menimbulkan banyak korban jika Pemilu nasional dan Pilkada diserentakan di tahun yang sama.
"Terlalu besar risiko Pemilu serentak jika penyelenggara tidak siap. Selain akan menimbulkan banyak korban, kemungkinan juga akan banyak timbul masalah dan komplain, khawatir acak-acakan saja jika tidak siap," kata Irma Suryani, politikus NasDem.
PKS bersuara yang sama dengan NasDem dan Demokrat. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai, justru saat ini butuh aturan baru untuk kepemiluan. Mardani menyebut beberapa alasan.
Pertama, berkaca pada Pemilu 2019 penyelenggara Pemilu terbebani dengan keserentakannya. Banyak jatuh korban jiwa dari penyelenggara Pemilu.
"Kejadian Pemilu 2019 dengan ratusan korban jiwa dari KPPS menjadi bukti perlu ada perbaikan," ujar Mardani.
Pemilu 2019, kata Mardani, memperlihatkan Pilpres terlalu mendominasi dibandingkan Pemilu Legislatif. Kualitas partai politik dan calo legislatif di tingkat pusat, sampai provinsi dan kabupaten kota tidak terekspose.
Terakhir, RUU Pemilu diperlukan karena jika mengacu UU Pilkada, akan berpotensi membuat banyak kursi kepala daerah diisi pejabat sementara. Sebab akan terjadi kekosongan jika Pilkada 2022 dan 2023 tidak dilaksanakan.
Sementara PAN, PKB, PDIP sudah terang-terangan menolak normalisasi Pilkada. Gerindra sendiri belum menentukan sikap jelas. Gerindra masih pikir-pikir, apakah perlu digelar Pilkada 2022 atau tidak.
Ingin Jegal Anies?
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai, pemerintah memang punya kepentingan agar RUU Pemilu tidak dibahas. Pemerintah dinilai ingin Pilkada tetap digelar serentak di 2024. Tidak dinormalisasi pada Pilkada 2022 dan 2023.
Sebabnya dipengaruhi kepentingan partai berkuasa PDI Perjuangan. Partai berlambang banteng itu ingin tetap ada Pilkada di 2024.
"Pemerintah berkepentingan Pilkada dilakukan tetap di 2024. Dan kita tahu partai yang sedang berkuasa atau sedang memeruntah itu PDIP. PDIP sama dengan pemerintah sikapnya Pilkada ingin tetap di 2024," ujar Ujang ketika dihubungi, Minggu (31/1).
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini menilai, kepentingan politik itu demi menjegal Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024. Sebab dengan tidak adanya Pilkada DKI di 2022, modal politik Anies digembosi.
"Arahnya sangat jelas, bisa saja ingin mengganjal Anies. Ingin melemahkan Anies, dan ingin menggembosi Anies," kata Ujang.
Jika Pilkada DKI digelar di 2022, pemerintah berkuasa dan PDIP seperti memberi angin kepada Anies agar bisa terpilih kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta dan memuluskan jalan menuju Pilpres 2024.
"Karena jika Pilkada dilakukan di 2022, sama saja pemerintah dan PDIP memberi angin dan jalan bagi Anies tuk terpilih lagi jadi gubernur dan memuluskan jalannya juga untuk ke Pilpres. Sedangkan antara Anies dan PDIP juga pemerintah pusat tak terlalu cocok," jelas Ujang.
Sebelumnya, Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat mengatakan, belum ada urgensi perubahan undang-undang.
"Evaluasi Pilkada serentak penting, namun belum mengarah pada urgensi perubahan UU Pilkada," kata Djarot dalam keterangannya, Rabu (27/1).
Djarot menilai, Pemerintah dan DPR tidak perlu membuang-buang energi melakukan perubahan undang-undang yang berpotensi menimbulkan ketegangan politik. Menurutnya lebih baik fokus menyelesaikan masalah pandemi Covid-19.
"Lebih baik fokus kita mengurus rakyat agar segera terbebas dari Covid-19. Pelaksanaan pilkada yang penting untuk dievaluasi, bukan perubahan UU-nya," tegas Djarot.
Djarot menambahkan, aturan yang ada tidak perlu diubah karena pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2024 dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan dan kesesuaian jadwal antara Pilpres, Pileg dan Pilkada 2024.
"Pilkada Serentak 2024 yang diatur dalam UU tersebut belum dijalankan, bagaimana perubahan akan dilakukan? Jadi dilaksanakan dulu tahun 2024, baru dievaluasi," kata Djarot.
Politikus PKB Daniel Johan menegaskan, sikapnya terkait UU Pemilu tidak ada kaitan dengan jegal menjegal Anies Baswedan. Menolak revisi UU Pemilu murni karena saat ini sebaiknya pemerintah fokus tangani pandemi Covid-19.
"Tidak ada hubungannya dengan Anies maju atau tidak, siapa pun yang potensial untuk maju fokus saja menjalankan tugasnya dengan sebaiknya agar mendapat apresiasi masyarakat karena dianggap berhasil," katanya, Kamis (28/1).
PKB, kata dia, tetap sepakat Pilkada digelar pada tahun 2024. Menurutnya, Pilkada baiknya dilakukan 2024 karena saat ini pemerintah sedang fokus penanganan pandemi.
"PKB masih terus mengkaji secara mendalam, tapi sejauh ini cukup sepakat Pilkada dilakukan 2024 agar semua kekuatan bangsa fokus mengatasi pandemi Covid dengan baik," ucapnya.
(mdk/ray)