Menkum HAM sebut perkara PPP sudah selesai usai Muktamar islah
Yasonna meminta Djan Faridz bergabung dengan struktur baru Ketua Umum PPP Romahurmuziy.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) baru saja menggelar Muktamar islah dan menunjuk Romahurmuziy (Romi) menjadi ketua umum secara aklamasi. Namun, Djan Faridz tak bisa menerima lantaran telah menang di Mahkamah Agung (MA) dan Romi sudah mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Menanggapi itu, Menkum HAM Yasonna Hamonangan Laoly menilai MA paham betul jika sengketa internal PPP masuk dalam perkara perdata. Maka dari itu penyelesaiannya tak harus kaku secara hukum.
"Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan hukum. Akan lebih baik masalah itu diselesaikan dengan kesepakatan. Ini bukan permasalahan perkara publik, ini perkara perdata. Perkara perdata itu yang paling pokok adalah perdamaian," ujar Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/4).
Yasonna berujar, jika proses islah sudah berjalan melalui Muktamar VIII PPP maka proses hukum selesai. Dia juga menganggap pihak yang beperkara perdata 601 yaitu Suryadharma Ali sudah enggan menggugat dan mengikuti proses islah.
"Tapi saya kira figur Pak SDA kan dan istrinya dari Muktamar Jakarta dan beberapa tokoh-tokohnya kan sudah gabung, mengapa kita harus memperkeruh suasana kembali. Kalau memang mencintai PPP menjadi besar, menjadi partai yang solid, islah ini merupakan jalan yang terbaik," tuturnya.
Menurut Yasonna, MA pasti mengikuti perkembangan kasus PPP. Dia juga yakin tidak ada peraturan dan hukum yang dilanggar. Yasonna menilai Muktamar islah VIII PPP sah secara hukum dan aturan internal partai. Maka dari itu dia berharap Politikus PPP Djan Faridz bergabung dengan struktur baru Ketua Umum PPP Romahurmuziy.
"Muktamar ini sesuai konsitusi ad/art partai. Bukan saya tidak mem-follow up keputusan Mahkamah Agung, saya sudah follow up. Tapi ada beberapa persyaratan yang tidak dipenuhi menurut persyaratan Kemenkum HAM. Kan begitu," pungkasnya.
Seperti diketahui, Kubu Romi mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terkait putusan MA yang menangkan Djan Faridz. PK tersebut merujuk pada pasal 67 UU no.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yaitu karena adanya tipu muslihat, novum serta kekhilafan hakim. Isa menuturkan dalam novum terkai PK terlihat adanya indikasi kebohongan atau tipu muslihat yang menjadikan tidak sahnya acara menyerupai Muktamar di Jakarta.
Kekhilafan hakim nyata terkait pertimbangan-pertimbangan hukum seperti Majelis tidak pernah mempertimbangkan gugatan atas terbitnya amar nomor 5 Putusan Mahkamah Partai tanggal. 11 Oktober 2014 adalah tidak pernah ada.