MKD akui ada intervensi di kasus catut nama Jokowi
MKD bakal obyektif dan berhati-hati dalam pemberian putusan kepada anggota dewan catut nama Jokowi.
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tengah mengusut laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said soal pencatutan nama Presiden Joko Widodo kepada PT Freeport Indonesia diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto. Mereka akui ada upaya pelbagai pihak memperlemah sanksi dalam masalah ini.
Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Junimart Girsang menegaskan, MKD tidak bisa diintervensi pihak luar. "Kalau tekanan itu hal biasa. Enggak ada lobi-lobi karena MKD kan tak bisa diintervensi," kata Junimart di Kompleks Parlemen DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (23/11).
Junimart menjelaskan, kasus pencatutan nama Jokowi oleh anggota dewan memang ramai diperbincangkan masyarakat. Untuk itu, pemberian putusan tentunya harus melalui cara obyektif dan hati-hati.
"Kita tunggu nanti rapat kita di MKD. Mudah-mudahan tidak ada kendala dan kita bisa menyampaikan pendapat secara cerdas dan objektif karena rakyat melihat kita sekarang," ungkapnya.
Politikus PDIP ini memastikan setiap anggota MKD bersifat netral. Sehingga para fraksi di dewan tidak boleh lakukan intervensi. Termasuk dalam kasus pencatutan nama presiden ini.
Seperti diketahui sebelumnya, Sudirman menyatakan bahwa anggota DPR tersebut menjanjikan suatu cara penyelesaian tentang kelanjutan kontrak PT Freeport Indonesia dan meminta agar PT Freeport Indonesia memberikan saham yang disebutnya akan diberikan pada Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sudirman juga menjelaskan bahwa seorang anggota DPR tersebut juga meminta agar diberi saham suatu proyek listrik yang akan dibangun di Timika. Selain itu dia juga meminta PT Freeport Indonesia menjadi investor sekaligus off taker (pembeli) tenaga listrik yang dihasilkan dari proyek tersebut.
Sudirman menjelaskan dengan dalih menjadi penghubung agar proposal tersebut disetujui pemerintah, oknum tadi meminta 20 persen dengan rincian 11 persen akan diberikan kepada Presiden Joko Widodo dan 9 persen sisanya untuk Wakil Presiden Jusuf Kalla. Setnov dianggap mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk meminta 20 persen saham perseroan dan 49 persen saham proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Urumuka, di Papua.