Pasal apa di kode etik DPR yang bisa menjerat Setya dan Fadli?
MKD harus bisa merumuskan pelanggaran kode etik yang dilakukan, karena pasal-pasal yang ada hanya mengatur secara umum.
Pimpinan DPR Setya Novanto dan Fadli Zon dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena hadir di kampanye capres Amerika Donald Trump. Tapi pasal apa di dalam kode etik DPR yang dilanggar mereka?
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri menilai MKD akan kesulitan merumuskan pelanggaran yang dilakukan Setya dan Fadli. MKD bukan hanya mencari cantolan pasal apa yang dilanggar melainkan harus memformulasikan penilaian terhadap pelanggaran itu.
Ronald menyarankan, MKD perlu menetapkan serangkaian langkah untuk menyusun penilaiannya agar tidak terbentur kepada keterbatasan materi muatan kode etik DPR yang cenderung mengatur hal-hal yang umum.
"Khawatirnya MKD kesulitan untuk menemukan dan mengaitkan pelanggaran dengan pasal-pasal kode etik DPR," kata Ronald melalui siaran pers kepada merdeka.com, Rabu (9/9).
Ronald menyarankan, MKD memanggil pakar hubungan internasional, hukum internasional atau diplomasi sebagai referensi penilaian MKD. MKD juga perlu melakukan konfirmasi apakah pihak Kementerian Luar Negeri (begitu pula KBRI setempat) mengetahui agenda pimpinan DPR menemui Donald Trump.
"Mengingat kebiasaan (koordinasi) selama ini setiap kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri, pihak Kementerian Luar Negeri dan KBRI setempat selalu turut diberitahu. Jika tidak diberitahu, maka pertemuan pimpinan DPR bersifat spontan," ujarnya.
Dia menambahkan, berdasarkan Pasal 86 ayat (1) huruf b UU MD3, salah satu tugas pimpinan DPR adalah menyusun rencana kerja pimpinan. Yang bisa menjadi celah bagi MKD adalah mempertanyakan, apakah selain menghadiri sidang IPU, pertemuan dengan Donald Trump termasuk rencana kerja pimpinan yang sudah disiapkan sebelum keberangkatan? Sisi kontroversial yang muncul adalah sesuatu yang belakangan beresiko ketidakpatutan.
Terkait alasan yang dilontarkan Fadli Zon bahwa pertemuan dengan Donald Trump karena mereka menjalankan fungsi diplomasi atau bagian dari kepedulian pimpinan DPR khususnya untuk mempromosikan peluang investasi di Indonesia, Ronald melihat, dalih itu semestinya dilihat dari relasinya dengan peraturan dan pemerintah.
Dia menjelaskan, di Pasal 69 ayat (2) UU MD3 jo Pasal 219 ayat (1) Tata Tertib DPR menyatakan bahwa jika ada keterkaitan tiga fungsi DPR (legislasi, anggaran, dan pengawasan) dengan fungsi diplomasi (yang di-endorse oleh UU 17/2014) harus dengan syarat 'mendukung upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri'.
"Pertanyaannya adalah, apakah langkah pimpinan DPR menemui Donald Trump mempunyai porsi dan berdampak signifikan mendukung upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri atau malah sebaliknya, mendatangkan masalah dan lebih banyak mengandung unsur ketidaklayakan," tegasnya.
MKD, kata Ronald, bisa pula memanggil BKPM atau instansi pemerintah untuk melakukan analisis dan penilaian tentang kebijakan investasi yang prospektif dan sejalan dengan politik luar negeri pemerintah. Perlu diketahui pula bahwa berdasarkan Tata Tertib DPR Pasal 58 ayat (3) huruf f sesungguhnya peran menjalin hubungan luar negeri, baik dengan institusi negara maupun swasta, merupakan tugas setiap komisi (sesuai dengan bidang) dan dikoordinasikan oleh BKSAP.
"Jadi tidak ada yang bersifat spontan seperti yang didalihkan pimpinan DPR. Perlu ada keterkaitannya dengan komisi dan BKSAP," pungkasnya.