Perludem: Pilkada di Tengah Covid-19 Ancam Keselamatan Pemilih & Penyelenggara
"Akibatnya akan sangat berbahaya. Kualitas pilkada bisa menurun. Derajat keterwakilan pemilih menjadi tidak maksimal. Ini jelas bertentangan dengan tujuan penyelenggaraan pilkada itu sendiri," ujar dia.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menanggapi penetapan pelaksanaan Pilkada serentak 2020 pada 9 Desember. Keputusan tersebut, dinilai mengancam keselamatan jiwa pemilih dan penyelenggara pemilu.
"Keputusan melanjutkan tahapan pilkada di tengah pandemi Covid-19, dengan masa persiapan yang sangat sempit adalah keputusan yang mengancam keselamatan jiwa pemilih dan penyelenggara pemilu,"Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil, dalam keterangannya, Kamis (28/5).
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Bagaimana Pilkada 2020 diselenggarakan di tengah pandemi? Pemilihan ini dilakukan di tengah situasi pandemi COVID-19, sehingga dilaksanakan dengan berbagai protokol kesehatan untuk meminimalkan risiko penularan.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Kenapa Pilkada tahun 2020 menarik perhatian? Pilkada 2020 menarik perhatian karena dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Pilkada di tahun tersebut dilaksanakan dengan penerapan protokol kesehatan ketat untuk menjaga keselamatan peserta dan pemilih.
-
Apa saja yang dipilih rakyat Indonesia pada Pilkada 2020? Pada Pilkada ini, rakyat Indonesia memilih:Gubernur di 9 provinsiBupati di 224 kabupatenWali kota di 37 kota
-
Kapan Pilkada serentak berikutnya di Indonesia? Indonesia juga kembali akan menggelar pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di tahun 2024. Pilkada 2024 akan dilasanakan ada 27 November 2024 untuk memilih gubernur, wali kota, dan bupati.
Dia menilai DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu terlihat kurang peduli terhadap kondisi faktual. Bahwa hingga hari ini, jumlah korban yang terinfeksi Covid-19, bahkan korban meninggal dunia masih terus bertambah. Belum menunjukkan kecenderungan akan melandai, apalagi berakhir.
Pelaksanaan Pilkada 2020 yang akan dilaksanakan di 270 daerah pun belum memiliki kerangka hukum yang sejalan dengan protokol penanganan Covid-19. Perpu Nomor 2/2020 sama sekali tidak mengatur pelaksanaan pilkada yang menyesuaikan pelaksanaan tahapan yang sesuai dengan protokol penanganan Covid-19.
Dengan demikian, pelaksanaan pilkada mesti menggunakan mekanisme normal, sebagaimana diatur di dalam UU Pilkada. Jika kesimpulan rapat antara DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu meminta pelaksanaan pilkada menggunakan protokol Covid-19, tentu dibutuhkan kerangka hukum yang cukup, adil, dan sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu demokratis.
Untuk menyiapkan kerangka hukum, lanjut dia, tentu dibutuhkan waktu yang cukup. Sementara, keputusan untuk memulai kembali tahapan pilkada pada 15 Juni 2020, jelas membuat waktu mempersiapkan kerangka hukum untuk melaksanakan pilkada dengan protocol Covid-19 tidak cukup.
"Akibatnya akan sangat berbahaya. Kualitas pilkada bisa menurun. Derajat keterwakilan pemilih menjadi tidak maksimal. Ini jelas bertentangan dengan tujuan penyelenggaraan pilkada itu sendiri," ujar dia.
Dia menambahkan, salah satu konsekuensi melaksanakan pilkada di tengah pandemi Covid-19, KPU meminta tambahan anggaran sebesar Rp535 miliar. Untuk proses pembahasan dan penambahan anggaran ini tentu membutuhkan waktu.
Belum lagi proses pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) dan perangkat lainnya untuk melaksanakan pilkada di tengah pandemi Covid-19, mesti dilaksanakan dengan mekanisme yang benar untuk menghindari terjadinya kesalahan pertanggungjawaban keuangan negara.
"Satu hal yang perlu diingat oleh DPR, Pemerintah, dan KPU, bahwa ketika tahapan pilkada nanti dilanjutkan, akan langsung berhadapan dengan tahapan pendaftaran pemilih, serta verifikasi dukunga calon perseorangan" imbuhnya.
Artinya, Alat Pelindung Diri (APD) dan perangkat kesehatan lainnya akan langsung digunakan dalam lebih kurang 18 hari kedepan. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pengadaan APD dan perangkat secara massal, distribusinya ke seluruh daerah pemilihan bisa selesai, sementara uangnya saja baru mulai mau dianggarkan.
"Sesuatu yang rasanya kurang rasional di dalam persiapan untuk melanjutkan tahapan Pilkada 2020."
Hal ini penting untuk diperhatikan agar pemaksaan diri melaksanakan Pilkada 2020 tidak menimbulkan masalah besar di kemudian hari. Pembelajaran dari beberapa tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa pemilu pada masa lalu mestinya jadi pembelajaran untuk tidak terulang.
"Apalagi di tengah masa pandemi dan krisis yang tengah kita hadapi. Hal itu akan sangat mencederai kemanusiaan dan martabat demokrasi kita," terang dia.
Atas dasar itu, Perludem meminta KPU, Pemerintah, dan DPR untuk mengevaluasi kesepakatan melanjutkan Pilkada bulan Desember pada (27/5) kemarin. Keselamatan dan kesehatan masyarakat Indonesia seharusnya ditempatkan sebagai prioritas dalam perhelatan pilkada.
Dia menambahkan agar praktik demokrasi yang merupakan penghormatan pada martabat manusia melalui penghargaan pada setiap sauara pemilih yang ada, tidak dicederai akibat marabahaya paparan Covid-19 yang mengancam mereka karena penyelenggaraan pilkada yang berlangsung di tengah pandemi.
"Sudah semestinya suara elite mencerminkan suara dan kepentingan publik secara orisinil," tandasnya.
(mdk/ray)