Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19 Dianggap Ancam Partisipasi dan Mutu Demokrasi
Pasalnya suksesi dalam penentuan pemimpin daerah kala pandemi dapat terhambat oleh ancaman penyebaran virus korona
Keputusan pemerintah dan DPR yang menyepakati pemungutan suara Pilkada di 270 daerah berlangsung pada 9 Desember 2020 menuai kritikan. Salah satunya datang dari fraksi NasDem.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi NasDem, Syamsul Luthfi mengatakan Pilkada yang akan digelar pada 9 Desember mendatang mempertaruhkan partisipasi masyarakat dan mutu demokrasi. Pasalnya suksesi dalam penentuan pemimpin daerah kala pandemi dapat terhambat oleh ancaman penyebaran virus corona.
-
Bagaimana Pilkada 2020 diselenggarakan di tengah pandemi? Pemilihan ini dilakukan di tengah situasi pandemi COVID-19, sehingga dilaksanakan dengan berbagai protokol kesehatan untuk meminimalkan risiko penularan.
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Kenapa Pilkada tahun 2020 menarik perhatian? Pilkada 2020 menarik perhatian karena dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Pilkada di tahun tersebut dilaksanakan dengan penerapan protokol kesehatan ketat untuk menjaga keselamatan peserta dan pemilih.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Mengapa Pilkada Serentak diadakan? Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan pemilihan, serta mengurangi biaya penyelenggaraan.
-
Kapan Pilkada serentak berikutnya di Indonesia? Indonesia juga kembali akan menggelar pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di tahun 2024. Pilkada 2024 akan dilasanakan ada 27 November 2024 untuk memilih gubernur, wali kota, dan bupati.
"Pandangan saya jelas kualitas Pilkada akan menurun dibanding Pilkada sebelumnya. Utamanya partisipasi masyarakat yang akan menurun drastis. Masyarakat akan lebih memilih diam di rumah daripada menyalurkan hak suaranya di TPS," kata Luthfi melalui siaran pers, Kamis (28/5).
Menurut dia, pelaksanaan Pilkada juga akan berbenturan dengan ketakutan penyelenggara saat harus menggelar pemungutan suara di rumah sakit yang merawat pasien Covid-19. Sementara setiap pasien Covid-19 memiliki hak untuk memilih calon kepala daerahnya.
"Tentu sangat sulit diatur teknisnya. Kemudian yang sangat tidak fair adalah kepala daerah incumbent bisa memanfaatkan momentum pandemi covid untuk menggaet suara dengan menyalurkan bantuan baik dari APBN maupun APBD," ujarnya.
Luthfi melanjutkan, penyaluran bantuan sosial dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik bila Pilkada tetap dilangsungkan waktu dekat.
“Pengadaan APD maupun bantuan sembako yang terjadi sekarang bagi kepala daerah incumbent bisa dimanfaatkan oleh koleganya untuk menambah pundi-pundi dana Pilkada. Ini sungguh tidak fair. Apalagi kita berbicara hal teknis yang lain maka sangat berat untuk bisa memastikan pilkada ini bisa bermutu," ungkapnya.
Khawatir Penyalahgunaan Bansos
Selain kekhawatiran adanya penyalahgunaan bantuan sosial, Luthfi juga menyangsikan persiapan dan tahapan Pilkada yang akan dimulai 15 Juni nanti berjalan lancar. Sebab, berbagai pihak diprediksi masih berkutat dengan beban teknis dan protokol kesehatan Covid-19
"Maka estimasi pelaksanaan yang paling moderat adalah penundaan sampai tahun depan. Karena fokus kita saat ini adalah bagaimana menciptakan stabilitas kesehatan dan stabilitas ekonomi," katanya.
Guna menjaga mutu dan partisipasi pemilih, Luthfi meminta pemerintah, DPR serta penyelenggara pemilu mengkaji ulang kesepakatan melaksanakan Pilkada pada 9 Desember 2020.
"Kenapa kita tidak memakai prinsip mundur selangkah untuk maju beberapa langkah sehingga kesannya tidak dipaksakan seperti sekarang ini," pungkasnya.
(mdk/eko)