Polemik Pilkada Asimetris Usulan Mendagri Tito Karnavian
Usul itu menuai pro dan kontra dari partai politik. Ada partai yang mendukung ada juga yang tidak mendukung usulan pilkada asimetris itu.
Polemik pelaksanaan pilkada langsung masih menjadi sorotan. Banyak pihak yang menilai pelaksanaan pilkada tersebut banyak efek negatif dibanding efek positifnya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian juga menilai pilkada langsung tidak memiliki dampak yang baik serta memunculkan masalah baru. Karena itu, Ia mencetuskan usul membuat sistem pilkada asimetris.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Bagaimana Pilkada dilakukan? Pilkada dilakukan secara langsung oleh masyarakat melalui pemungutan suara. Setiap pemilih memberikan suaranya untuk memilih pasangan calon yang dianggap paling mampu dan sesuai dengan aspirasi mereka dalam memimpin daerah tersebut.
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka melalui pemilihan langsung, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat.
-
Bagaimana Pilkada serentak dijalankan? Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah adalah Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Jika sistem itu diterapkan maka ada dua pemilihan kepala daerah yang akan dipakai. Sistem secara langsung akan digunakan untuk daerah dengan tingkat kedewasaan demokrasi tinggi. Artinya, daerah potensi praktik jual beli suara rendah. Misal di perkotaan.
Aspek budaya, administrasi dan lainnya tentu juga menjadi pertimbangan layak tidaknya daerah itu menggelar pilkada langsung.
Sementara, pemilihan tak langsung, menurut Tito, bisa diterapkan di daerah yang tingkat kedewasaan demokrasi rendah. Artinya, daerah di mana kepala daerah terpilih karena memberikan uang atau barang kepada pemilih. Hal ini demi menghindari politik uang atau pilkada berbiaya besar.
Usul itu menuai pro dan kontra dari partai politik. Ada partai yang mendukung ada juga yang tidak mendukung usulan pilkada asimetris itu.
PDIP Mendukung, PPP Menolak
Partai yang mendukung sistem pilkada asimetris adalah PDIP. Hal itu dikatakan langsung oleh Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.
"Daerah-daerah yang potensi konfliknya besar, maka di daerah tersebut dengan hikmat kebijaksanaan, kita galakkan pemilu asimetris," ujar Hasto dalam Bimbingan Teknis anggota DPRD Fraksi PDI Perjuangan se-Indonesia di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (19/11).
Berbeda dengan PDIP, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meski berada di jajaran pendukung pemerintah, justru tidak setuju dengan adanya usul pilkada asimetris. Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani menilai sulit menerapkan pemilihan kepala daerah secara asimetris.
"Saya melihat ada kesulitan, ada persoalan kalau pengaturannya pembedaan antara daerah yang bisa Pilkada langsung dengan yang tidak bisa Pilkada langsung," ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Rabu (20/11).
Arsul menilai, sulit menentukan mana daerah yang harus diterapkan Pilkada langsung atau tidak langsung. Karena ukurannya kualitatif. Ditambah dikhawatirkan terjadi diskriminasi karena di daerah tersebut dianggap terjadi politik uang tinggi misalnya.
"Kalau itu misalnya di daerah tertentu karena politik uang tinggi, enggak di daerah lain itu, apa enggak begitu marak, nanti ada yang marah," kata Arsul.
Poin berikutnya Arsul menilai bakal mudah digugat di Mahkamah Konstitusi. Sebab bakal dianggap terjadi diskriminasi ham politik warga negara.
"Prinsip persamaan di hadapan hukum itu kan menyangkut juga hak-hak hukum hak politik juga itulah yang saya lihat persoalannya," jelasnya.
Golkar Nilai Asimetris Tidak Cocok untuk Pilkada
Kemudian, Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin menyoroti usul Pilkada Asimetris dari Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Dia menilai usulan itu tidak tepat untuk pilkada.
"Asimetris itu enggak tepat untuk Pilkada. Asimetris itu untuk otonomi daerah. Ini salah penempatan istilah. Kalau pilkada itu mau mandat tunggal atau mandat terpisah," kata Zulfikar dalam rapat Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu dan DKPP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/11).
"Kalau mandat tunggal dilaksanakan oleh DPRD kalau mandat terpisah langsung oleh rakyat. Kita mendorong langsung itu tetap kita jaga kita lindungi, kekurangannya mari kita perbaiki," sambungnya.
Zulfikar ingin pemilihan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung. Kata dia, mengembalikan pilkada ke DPRD sama saja merampas hak rakyat.
"Karena itu (kembali pilkada lewat DPRD) bagi saya sama saja dengan merampas hak rakyat yang selama ini sudah di nikmati," ungkapnya.
Dari pihak oposisi, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera misalnya, dia tidak setuju dengan usulan pilkada asimetris. Alasannya karena Kementerian Dalam Negeri belum melakukan kajian yang komperhensif soal usulan itu.
"Pertama saya melihatnya usulannya prematur karena tidak didahului dengan kajian lebih dahulu," kata Mardani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/11).
Mardani mengatakan, sebaiknya Kementerian Dalam Negeri melakukan kajian terlebih dahulu soal pilkada asimetris. Setelah ada kajian baru bisa diputuskan lebih lanjut oleh DPR.
"Kalau ini buat saya jumping untuk conclusion langsung asimetris," ungkapnya.
KPU Ikut Keputusan DPR
Sedangkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman menyerahkan semua keputusan sistem pilkada ke DPR sebagai pembuat Undang-undang. Dia hanya mengaku siap jika tetap diminta melakukan pilkada secara langsung.
"Sebetulnya kalau terkait dengan sistem itu terserah pada pembuat UU. KPU mengevaluasi teknis pelaksanaannya, bagaimana KPU menjalankan teknis-teknis tahapan itu di lapangan," kata Arief di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/11).
Menanggapi usul pilkada asimetris, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menilai sah-sah saja ada usulan semacam itu. Namun, dia menegaskan, Komisi II masih akan mengkaji usulan itu terlebih dahulu.
"Jadi biarkan aja itu menjadi wacana nanti kita kaji," kata Doli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/11).
Doli menjelaskan, biasanya asimetris hanya dilakukan untuk otonomi daerah. Karena itu, usul Mendagri masih harus dikaji lebih dalam.
"Soal asimetris itu juga itu secara konsepsional juga harus didudukkan dengan tepat. Biasanya soal asimetris itu soal-soal otonomi daerah buka soal pemilihan kepala daerahnya," ungkapnya.
Dia melanjutkan, konsep asimetris harus didiskusikan terlebih dahulu. Sebab, masih harus dicari konsep yang sesuai untuk pilkada.
"Jadi kalaupun kita sepakat sekali lagi. Konsep atau teori asimetris itu dipergunakan dalam konteks kepilkadaan itu harus dicari dulu basisnya apa," ungkapnya.
Kendati demikian, Doli menegaskan pihaknya masih ingin mengkaji semua opsi sehingga bisa menyempurnakan pelaksanaan pemilu selanjutnya.
"Ekses itu bagaimana kita mengoreksinya dan kemudian memberikan opsi-opsi yang tadi beberapa itu untuk melakukan penyempurnaan tentang pelaksanaan sistem pemilu kita ke depan," ucapnya.