PTUN batalkan Patrialis jadi hakim MK, Presiden diminta legowo
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menilai banyak putusan PTUN yang tidak dijalankan dengan baik.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan ICW dan YLBHI pada Keppres No 87/P Tahun 2013 soal pengangkatan Patrialis Akbar dan pemberhentian Maria Farida sebagai hakim MK. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Mahkamah Konstitusi (MK) wajib mematuhi putusan tersebut.
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari mengaku kecolongan saat memutus Akil Mochtar menjadi hakim MK saat proses seleksi di DPR. Nyatanya, Akil terbukti menerima suap dan harus mendekam di penjara KPK.
Namun Eva meyakinkan, jika proses seleksi DPR soal hakim MK adalah yang paling transparan dan akuntabel. Berbeda dengan seleksi yang dilakukan Presiden atau MA yang tak bisa dipantau oleh publik.
"Walau kecolongan kasus Akil Mochtar tapi proses seleksi di DPR untuk hakim MK faktanya paling akuntabel, transparan, akses publik dibuka lebar tidak seperti MA dan Presiden yang tidak ada kepastian SOP, sehingga mengganggu partisipasi publik," ujar Eva saat dihubungi, Selasa (24/12).
Sejauh ini, kata Eva, banyak putusan PTUN yang tidak dijalankan dengan baik. Kendati begitu, soal pengangkatan hakim MK ini, Eva yakin Presiden SBY dan MK sendiri legowo dan menjalankan hasil putusan itu.
"Walau banyak putusan PTUN banyak tidak dipatuhi oleh pelaksana yang dimandatkan dalam putusan, tapi saya pikir risikonya berat jika presiden mengabaikan, karena presiden simbol negara dan pemerintahan di NKRI yang negara hukum, sehingga pasti akan legowo menerima. Posisi MK juga bisa dipastikan akan menghormati dan melaksanakan putusan PTUN. Tidak ada pilihan lain," tegas politikus PDIP ini.
Eva menilai, putusan ini pun tak harus membuat kisruh MK. Sebab, kata dia, proses pergantian dapat dilakukan oleh Presiden dengan cepat tanpa proses seleksi seperti di DPR.
"Tidak seperti DPR yang SOP seleksi pun ditentukan UU MK apalagi presiden sudah punya pengalaman sebelumnya saat merekrut Prof Maria, Prof Haryono yang prosesnya memenuhi standar tata kelola pemerintahan," pungkasnya.
Sebelumnya, mendengar putusan itu Patrialis berencana akan melakukan banding. Sikap ini justru menimbulkan pro dan kontra, bahkan mantan Menkum HAM itu dinilai haus jabatan dan kekuasaan.
Menanggapi rencana banding yang akan dilakukan Patrialis Akbar , salah satu anggota dari penggugat Erwin Natosma Oemar mengatakan, sikap itu menunjukkan Patrialis yang mengejar kekuasaan.
"Artinya mencerminkan, orang ini mengharapkan kursi kekuasaan. Itu patut kita cela, artinya dia dari awal jadi hakim MK sudah fatal, kalau banding ya," ujar Erwin saat dihubungi melalui telepon selulernya pada Senin (23/12).
Erwin yang mengaku hadir dalam sidang putusan gugatan di PTUN Jakarta menilai putusan itu sebagai terobosan hukum. Menurut Erwin dengan pembatalan Keppres itu keberadaan Patrialis dinyatakan cacat secara hukum. Lebih lanjut Erwin mengungkapkan, keputusan PTUN Jakarta juga membatalkan pemberhentian hakim Maria Farida Indrati dan Ahmad Sadiki.