Publik tak puas 6 bulan kinerja Jokowi-JK, ini pembelaan loyalis
Para pendukung menilai wajar jika publik tak puas karena banyak program pemerintah yang belum dilaksanakan.
Lembaga survei Poltracking Indonesia mengeluarkan hasil sigi nasional yang dilaksanakan pada 23-31 April 2015 yang menyimpulkan bahwa publik tak puas dengan kinerja pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla selama enam bulan sejak dilantik.
Kinerja sejumlah menteri mendapat sorotan dan desakan reshuffle pun mengemuka. Namun, bagi para pendukung Jokowi-JK, waktu enam bulan terakhir belum cukup untuk melakukan penilaian terhadap kinerja pemerintah.
Banyak program yang belum bisa dilaksanakan karena pemerintah masih melakukan konsolidasi internal. Apalagi sisa pertarungan pilpres lalu masih terasa di DPR.
Apa saja pembelaan para pendukung Jookowi-JK atas penilaian kinerja enam bulan terakhir? Berikut rangkumannya:
-
Apa yang terjadi di Bukber Kabinet Jokowi? Bukber Kabinet Jokowi Tak Dihadiri Semua Menteri 01 & 03, Sri Mulyani: Sangat Terbatas
-
Kapan survei Indikator Politik Indonesia dilakukan? Survei tersebut melibatkan 810 responden dengan metode simple random sampling dan margin of error sekitar 3,5 persen.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Apa tanggapan Jokowi soal rencana Prabowo menambah jumlah Kementerian? Jokowi mengaku tak memberi masukan kepada Prabowo soal penambahan kementerian.
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
-
Apa hasil survei mengenai kondisi pemberantasan korupsi di era pemerintahan Jokowi? Survei Indikator menunjukkan bahwa responden menilai kondisi pemberantasan korupsi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) buruk, dengan jumlah persentase sebesar 32,7 persen.Sementara responden menilai kondisi pemberantasan korupsi sangat buruk sebesar 4,8 persen, lalu yang menilai sedang-sedang saja sebesar 28,7 persen. Selain itu, 27,3 persen masyarakat menilai baik dan 1,4 persen sangat baik. Sisanya, 5,2 persen tidak tahu atau tidak menjawab.
PPP: Wajar dan harus jadi peringatan
Wakil Sekretaris Fraksi PPP kubu Rohamurzumiy, Arsul Sani menanggapi survei tersebut sebagai sebuah cambukan untuk pemerintah agar bekerja lebih baik lagi ke depannya.
"Survei semacam itu tak perlu diamini, tapi tetap perlu menjadi perhatian pemerintah. Khususnya para menteri bahwa masyarakat menghendaki perbaikan kinerja pemerintahan," kata Arsul saat dihubungi, Senin (20/4).
Anggota Komisi III DPR ini menyebut wajar jika publik tak puas dengan kinerja Jokowi- JK. Sebab, ekspektasi publik terhadap keduanya begitu besar sejak dilantik 20 Oktober tahun lalu. Apalagi, publik melihat kebijakan pemerintah yang sering menaikkan BBM sebagai langkah yang membuat rakyat kecil menjerit tanpa mengetahui dasar dari alasan pemerintah menaikkan harga BBM.
"Selama ini masyarakat selalu terpersepsikan kebijakan pemerintah selalu tak pro rakyat," kata dia.
Sementara, ketika ditanya tentang hasil survei Poltracking lainnya yang menyebut besarnya keinginan masyarakat agar Jokowi melakukan reshuffle menteri, dia pun menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada Jokowi. Namun, sebelum Jokowi melakukan reshuffle, PPP berharap agar para menteri dievaluasi terlebih dahulu secara matang.
"Agar ada fairness bagi menteri-menteri. Maka tentu harus ada evaluasi yang harus dibuat dan dilakukan dulu. Katakanlah seperti laporan menteri," pungkasnya.
PDIP: Jokowi-JK harus introspeksi
Politikus PDIP Dwi Ria Latifa mengatakan jika survei Poltracking Indonesia yang menyebut rendahnya kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla akan dijadikan cambukan bagi kepala negara ke depannya. Selain itu, dia menilai survei itu merupakan suatu peringatan.
"Sebaiknya survei itu menjadi satu warning, introspeksi dan evaluasi. Kemudian bagian dari cara pemerintah untuk segera memperbaiki hal-hal yang dianggap sebagai keinginan masyarakat," katanya di Gedung DPR, Jakarta, Senin (20/4).
Selain itu, survei tersebut juga dapat menjadi peringatan bagi Jokowi-JK untuk merealisasikan janjinya saat kampanye lalu. Hal ini, kata dia, demi menumbuhkan kembali kepercayaan publik.
"Justru ini cambuk. Asal survei ini murni untuk kepentingan masyarakat bukan untuk kepentingan kelompok tertentu," kata dia.
Imbas pilpres belum selesai
Lembaga survei Poltracking merilis hasil survei yang menyimpulkan publik belum puas dengan kinerja Jokowi-JK selama enam bulan terakhir. PDIP sebagai partai pengusung pasangan itu menilai, wajar jika masyarakat kurang puas karena ada beberapa faktor yang selama menghambat kinerja pemerintah hingga kurang maksimal.
Wakil Sekjen PDIP Ahmad Basarah menyebut setidaknya ada tiga faktor yang menjadi penyebabnya.
"Pertama, kondisi politik nasional yang masih terimbas konflik kepentingan pascapilpres yang masih belum juga selesai. Bahkan perseteruan tersebut dilanjutkan di parlemen dengan membuat blok politik KMP dan KIH hingga saat ini. Perseteruan politik antara KIH dan KMP di DPR saja sudah memakan waktu sekitar 3 bulan dan praktis pada masa itu hubungan pemerintah dan DPR mengalami stagnasi," kata Basarah di gedung Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/4).
Faktor kedua, lanjut Basarah, adaptasi presiden dan wakil presiden bersama para menteri-menterinya terlalu lamban sehingga belum menemukan chemistry atau format yang sesuai sehingga mereka bisa cepat bekerja dalam satu rampak barisan pemerintahan yang solid.
"Hal tersebut diperparah lagi atas ulah beberapa menteri atau pejabat setingkat menteri yang punya hidden agenda sendiri di pemerintahan," cetus Basarah.
Faktor ketiga, ungkap dia, paradigma pemerintahan yang dibangun oleh presiden Jokowi belum sepenuhnya dapat diterima parpol-parpol pengusung dan pendukungnya.
"Jokowi menganggap bahwa parpol-parpol pengusung hanya merupakan salah satu bagian yang sama dengan kelompok-kelompok pendukung lainnya dalam proses politik kemenangan Jokowi sebagai presiden waktu itu. Sehingga Jokowi membuat pola komunikasi dan koordinasi yang sama antara parpol-parpol pengusung dan pendukungnya dengan kekuatan pendukung Jokowi lainnya di luar parpol," papar dia.
Padahal, ujar Basarah, di sisi lain, parpol-parpol pengusung dan pendukung, terutama PDIP menganggap bahwa pemerintahan Jokowi-JK lahir dari rahim politik PDIP dan parpol-parpol pendukung lainnya. "Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 6A ayat 2 UUD 1945 dan UU Pilpres," tegasnya.
Basarah menilai, selama ini telah terjadi kesalahpahaman politik antara presiden dan parpol-parpol pengusung dan pendukungnya sehingga akhirnya sinergi antara pemerintah dgn parpol pengusung dan pendukung menjadi tidak maksimal.
"Berbeda pada saat SBY berkuasa, dia menempatkan posisi politik partai pendukung pilpres dalam posisi yang sangat strategis hingga membentuk Sekretariat Gabungan (Setgab)," pungkas anggota Komisi III DPR ini.
Tjahjo: Semua menteri harus jadi bumper presiden
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menanggapi hasil survei Poltracking yang mengatakan Presiden Jokowi harus melakukan reshuffle. Menurut Tjahjo, harus dilihat waktu berjalannya pemerintahan baru 6 bulan berjalan. Selain itu, Tjahjo mengatakan Presiden Jokowi tidak membutuhkan juru bicara.
"Saya berpendapat, walaupun dipersepsikan oleh lembaga survei bahwa kepuasan publik rendah, tapi kan harus dijelaskan, APBN-P kan baru, setelah selesai, 4 bulan," ujarnya di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (21/4).
Tjahjo juga menilai Presiden dan Wakil Presiden tidak perlu juru bicara. Sebab, juru bicara yang baik adalah sang presiden sendiri.
"Saya kira presiden juga enggak perlu mempertimbangkan. Eh saya sebagai mendagri tidak sependapat kalau presiden mempertimbangkan harus ada juru bicara. Enggak usah. Juru bicara yang baik adalah bapak presiden, juru bicara yang baik adalah bapak wakil presiden, bisa diback-up oleh seskab oleh sesneg," ujarnya.
Tjahjo menilai komunikasi presiden kepada publik selama ini sudah cukup. Meskipun masih banyak yang menilai presiden perlu jubir.
"Cukup. Ada beberapa opini perlu jubir, saya rasa tidak perlu," ujarnya.
Tjahjo mengatakan tidak ada kekhawatiran jika tanpa jubir, presiden akan menjadi pihak yang langsung disalahkan. "Oh enggak," ujarnya.
Tjahjo menambahkan seharusnya yang membackup komunikasi presiden adalah para menterinya sendiri. "Bumper ya menteri-menteri, semua menteri harus jadi bumper presiden, jangan menteri berlindung di belakang presiden," ujarnya.