Reaksi Presiden Jokowi tolak tanda tangan UU MD3 tidak berpengaruh
Presiden baru menolak ketika melihat reaksi masyarakat. Begitu masyarakat tidak mendukung UU, maka Presiden hanya punya reaksi tidak tanda tangan. Tapi itu tidak berpengaruh. Tapi, sikap Presiden Jokowi itu akan lebih memudahkan untuk membatalkan UU MD3 jika nantinya digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Rancangan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) hasil revisi baru saja disahkan DPR dan kini sudah sampai ke tangan Presiden Joko Widodo. Jokowi sapaan akrabnya, menyoroti beberapa pasal. Termasuk mempertimbangkan reaksi publik atas UU MD3 hasil revisi yang membuat DPR menjadi super power.
Jokowi kaget melihat beberapa pasal kontroversial yang juga disorot publik. Semisal soal imunitas DPR dan pemanggilan paksa pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga dengan meminta bantuan pihak kepolisian.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Kapan Presiden Joko Widodo menyelesaikan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada? Masuk kuliah pada 1980, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya 5 tahun berselang.
-
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi pada hari Jumat, 8 Desember? Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima surat kepercayaan dari 10 duta besar luar biasa dan berkuasa penuh (LBBP) negara-negara sahabat.
-
Kapan Pasar Jongke diresmikan oleh Presiden Jokowi? Pada Sabtu (27/7), Presiden Jokowi meresmikan Pasar Jongke yang berada di Laweyan, Kota Surakarta.
-
Siapa yang mengunjungi Presiden Jokowi di Indonesia? Presiden Jokowi menerima kunjungan kenegaraan dari pemimpin Gereja Katolik sekaligus Kepala Negara Vatikan, Paus Fransiskus, di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu, 4 September 2024.
-
Bagaimana Presiden Jokowi saat ini? Presiden Jokowi fokus bekerja untuk menuntaskan agenda pemerintahan dan pembangunan sampai akhir masa jabaotan 20 Oktober 2024," kata Ari kepada wartawan, Senin (25/3).
"Jadi Presiden cukup kaget juga. Makanya saya jelaskan, masih menganalisis ini dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan (Presiden) tidak menandatangani," ujar Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly di Istana Kepresidenan, kemarin.
Jokowi kaget lantaran dalam pembahasan revisi UU MD3, pemerintah hanya menyetujui perubahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD. Yakni masing-masing mendapat penambahan kursi wakil pimpinan sesuai diatur dalam Pasal 15, Pasal 84, dan Pasal 260. Namun dalam perkembangannya, DPR membuat pasal-pasal baru yang dianggap tidak perlu. Bahkan, pemerintah mengaku sudah menolak 2/3 keinginan anggota DPR.
"Kalau kita setujui waduh itu lebih super powerful lagi," sambungnya.
Presiden kemungkinan tidak akan menandatangani UU MD3. Dengan begitu, UU MD3 menjadi UU kontroversial meskipun tetap sah untuk diundangkan. "Presiden mengatakan kok sampai begini, jadi heboh di masyarakat," jelas Yasonna.
Pemerintah justru mendorong rakyat untuk menggugat revisi UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, itu baru bisa dilakukan setelah rancangan UU MD3 resmi menjadi undang-undang. Tak hanya mendorong rakyat, pemerintah juga segera melayangkan gugatan UU MD3 ke MK.
"Rakyat punya kesempatan menguji konsitusionalitas ayat-ayat di MD3. Kita dorong rakyat kita uji ke MK. (Pemerintah) Ke MK, ingat saat saya keluar paripurna dari pada kita capai-capai lebih baik kita gugat ke MK. Kita mempunyai mekanisme check and balances, kewenangan DPR dan pemerintah dicek MK," ucapnya.
Pengamat hukum tata negara Refly Harun menegaskan, sikap presiden yang menolak tandatangan UU MD3 tidak banyak berpengaruh. UU MD3 akan tetap berlaku meski tanpa tandatangan Presiden. Ini sesuai dengan amanat dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 ke2, khususnya Pasal 20 Ayat (5).
Isinya, dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Pasal ini lahir dilatarbelakangi kekhawatiran rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh presiden.
"Dengan ketentuan konstitusional, kalau tidak ditandatangan Presiden dalam 30 hari, maka rancangan UU MD3 akan tetap sah menjadi UU," ujar Refly saat berbincang dengan merdeka.com, semalam.
Komisaris PT jasa Marga ini masih ingat betul, pernah ada pihak-pihak yang memberikan saran pada Presiden Jokowi. Jika Presiden tidak setuju dengan rancangan UU tertentu, maka pemerintah harus berani menolak dalam sidang paripurna persetujuan. Jika saat ini Presiden menolak UU MD3, maka tidak akan berpengaruh. UU itu akan tetap sah.
"Tapi kita memahami bahwa masalahnya adalah Presiden tidak setiap saat terupdet oleh menteri yang hadir saat pembahasan dan persetujuan. Presiden baru menolak ketika melihat reaksi masyarakat. Begitu masyarakat tidak mendukung UU, maka Presiden hanya punya reaksi tidak tanda tangan. Tapi itu tidak berpengaruh," tegasnya.
Tapi, sikap Presiden Jokowi itu akan lebih memudahkan untuk membatalkan UU MD3 jika nantinya digugat ke Mahkamah Konstitusi. Keseriusan sikap pemerintah menolak UU itu bisa terlihat saat ada pihak yang mengajukan peninjauan kembali atau judicial review ke MK. Jika pemerintah menolak UU itu, maka ketika sidang gugatan dimulai, pemerintah tidak perlu ngotot.
"DPR saja yang defense. Ini akan jauh lebih mudah membatalkannya."
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Totok Daryanto menyarankan Presiden Jokowi menunjukkan sikap negarawan dan tidak kesal terhadap pasal-pasal baru dalam UU MD3.
"Jadi saya kira sebaiknya mengedepankan sikap kenegarawanan, tidak menunjukan sikap yang seperti kalau orang Jawa bilang seperti mutung, ngambek, sebaiknya jangan ngambek," kata Totok saat dihubungi, Selasa (20/2).
Totok mengatakan jika presiden marah dan menolak meneken UU MD3 justru akan membuat politik nasional tidak kondusif. Ketegangan politik, kata Totok, akan berimbas pada sektor lain seperti ekonomi hingga kepercayaan publik.
"Kalau ada yang ngambek gitu kan muncul ketegangan. Dan itu tidak kondusif untuk perpolitikan nasional. Dan itu juga akan berpengaruh pada sektor-sektor lain," tegasnya.
Demi menyelesaikan masalah ini, Ketua DPP PAN ini mengusulkan agar pemerintah dan DPR bertemu dan melakukan lobi lewat rapat kerja.
"Jadi pak Yasonna bisa ketemu dengan pimpinan Baleg, pimpinan dewan untuk membahas mana bagian-bagian yang membuat pak presiden itu kurang berkenan," ujar Totok.
(mdk/noe)