Sidangkan gugatan pilkada, MK diminta tak jadi 'Mahkamah Kalkulator'
MK diminta mengabaikan pasal 158 UU Pilkada yang membatasi syarat pengajuan sengketa pilkada.
Pascapilkada Serentak 9 Desember lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) langsung dibanjiri setidaknya 147 gugatan hasil Pilkada. Namun, MK dianggap hanya menyelesaikan perselisihan berbasis data angka perolehan suara. Tak ayal, MK pun dijuluki sebagai 'Mahkamah Kalkulator'.
Perwakilan MK Watch, Ade Yanyan Hasbull menyatakan sikap MK yang seakan menjadi Mahkamah Kalkulator dikarenakan terbentur Pasal 158 UU Pilkada. Padahal, kata dia, Pasal tersebut menjadi penghalang bagi Calon Kepala Daerah yang ingin mengadu ke MK.
"Kami meminta MK mengabaikan pasal itu, karena mengekang calon kepala daerah lain," kata Ade dalam diskusi 'Membedah Pasal 158 dalam perspektif demokrasi dan konstitusi' di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (4/1).
Oleh sebab itu, dia menegaskan akan membuat petisi yang berisi agar MK tak perlu mengindahkan pasal tersebut untuk menerima setiap laporan. Selain petisi, Ade menyatakan pihaknya akan mengirim surat ke MK ihwal permintaan itu.
"Kami juga nanti akan mendorong calon kepala daerah turun ke jalan untuk menuntut ini," ujarnya.
Tak hanya itu, nantinya, Presiden Joko Widodo akan pula dikirimkan petisi penolakan Pasal tersebut. "Nanti mungkin Pak Jokowi bisa terbitkan Perppu," ujarnya.
Seperti diketahui, gugatan terkait sengketa pilkada yang masuk ke MK kemungkinan besar bakal gugur terkait aturan yang terkandung dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada).
Undang-undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015, pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) mengatur bahwa syarat pengajuan sengketa, jika ada perbedaan selisih suara maksimal 2 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi maksimal 2 juta penduduk.
Sementara bagi penduduk lebih dari 2 juta hingga 6 juta, syarat pengajuan sengketa, jika ada perbedaan selisih maksimal 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi.
Untuk tingkat kabupaten/kota, jumlah penduduk di bawah 250 ribu selisih minimal 2 persen, jumlah penduduk antara 250-500 ribu selisih suara minimal 1,5 persen. Untuk daerah dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta jiwa, minimal selisih suara 1 persen, dan daerah dengan jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa minimal selisih suara 0,5 persen.
Baca juga:
MK pertimbangkan proses sengketa Pilkada jika suara di atas 2 persen
MK seharusnya bukan Mahkamah Kalkulator
Demo gugat Pilkada ricuh, massa lempar cairan kimia ke polisi
Polisi investigasi kasus penganiayaan wartawan saat liput demo
Bentrok dengan polisi, puluhan pendemo dilarikan ke rumah sakit
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Kapan Pilkada serentak berikutnya di Indonesia? Indonesia juga kembali akan menggelar pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di tahun 2024. Pilkada 2024 akan dilasanakan ada 27 November 2024 untuk memilih gubernur, wali kota, dan bupati.
-
Kenapa Pilkada Serentak dianggap penting? Sejak terakhir dilaksanakan tahun 2020, kali ini Pilkada serentak diselenggarakan pada tahun 2024. Dengan begitu, penting bagi masyarakat Indonesia untuk mengetahui kapan Pilkada serentak dilaksanakan 2024.
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka melalui pemilihan langsung, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat.
-
Apa yang diubah Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024? Jumlah ini bertambah dari sebelumnya yang terbatas 17 orang. “Ada kesepakatan baru, sekarang 19 orang. Sebelumnya MK hanya memperbolehkan pemohon membawa 17 orang terdiri dari 15 saksi dan 2 ahli,” kata Fajar kepada awak media di Gedung MK Jakarta, Selasa (26/3/2024).