SMRC: Politik Uang Tidak Berjalan Efektif Dalam Pemilu 2024
Politik uang cenderung mahal karena dampaknya yang tidak sebanding dengan ekspektasi.
Politik uang kemungkinan hanya dapat efektif pada satu dari 10 kasus.
- Jadi Tersangka Politik Uang, Ini Respons Caleg DPR RI dari Partai Demokrat
- Hati-Hati Politik Uang, Pemberi dan Penerima 'Serangan Fajar' Bisa Dipenjara dan Denda Puluhan Juta
- Fenomena Politik Uang dalam Pemilu, Begini Pengaruhnya
- Berdalih Sedekah, Caleg DPR dari Demokrat Bagi-Bagi Uang Rp50 Ribu di Pantai Losari
SMRC: Politik Uang Tidak Berjalan Efektif Dalam Pemilu 2024
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut adanya strategi politik uang yang digunakan oleh sejumlah tokoh yang mengikuti Pemilu 2024 tidak mudah untuk bisa berjalan efektif dan cenderung mahal karena dampaknya yang tidak sebanding dengan ekspektasi.
"Politik uang ini kecenderungannya menurut saya kenapa jadi heboh, ini yang sebetulnya efektivitasnya itu hanya satu dari 10 kasus. Itu karena mereka tidak tahu persis, siapa yang betul-betul bisa dipengaruhi, siapa dan di mana," kata pendiri SMRC Saiful Mujani dalam bincang-bincang bertajuk Potensi Politik Uang di Pemilu 2024 yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Saiful menuturkan politik uang sulit untuk berjalan dengan efektif karena para peserta pemilu tidak mengetahui secara pasti siapa dan di mana (by name by address) orang yang mendukung mereka setelah menerima uang atau hadiah yang telah disalurkan.
Berdasarkan hasil survei yang SMRC lakukan dalam periode Oktober—November 2023 secara nasional, diketahui setidaknya politik uang kemungkinan hanya dapat efektif pada satu dari 10 kasus.
Hal tersebut membuktikan jika politikus ingin mendapatkan setidaknya satu suara, politik uang perlu disebar kepada 10 orang. Ketidakpastian itulah, katanya, yang membuat politisi membutuhkan dana dalam jumlah besar untuk melakukan kampanye selama masa pemilu berlangsung.
"Akibatnya adalah para pelaku politik uang ini, dia akan menghambur-hamburkan uangnya. Jadi, mahal, itu yang membuat pemilu mahal," ujarnya.
Menurut dia, alasan lain politik uang tidak berjalan efektif yakni disebabkan oleh pilihan yang ditentukan oleh masyarakat dalam kotak pemungutan suara, tidak dapat diketahui oleh para calon, serta pernyataan tokoh yang mengatakan masyarakat dapat menerima uang tersebut tanpa harus memilih dirinya.
Ia menyebutkan profil orang yang sering kali terpengaruh dan rentan oleh politik uang lebih besar terjadi pada perempuan, warga yang tinggal di perdesaan, berpenghasilan rendah, berpendidikan rendah, dan berusia di atas 55 tahun.
"Orang itu cenderung perempuan karena sosial ekonomi, seperti yang sering didiskusikan, perempuan lebih sering kesulitan ekonomi dibanding laki-laki. Ini 'kan jadi rentan terhadap serbuan politik uang, itu orang tua juga kasihan sekali dibegitukan," ucapnya.
Oleh sebab itu, Saiful menyarankan agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan pemerintah yang terkait untuk fokus melindungi masyarakat, terutama dalam kelompok rentan, supaya tidak terpengaruh pada tipu daya politik uang yang terkadang membawa dampak buruk bagi orang lain.
"Memang sudah amanat negara, amanat undang-undang, itu kewajiban Bawaslu untuk menegakkannya, Bawaslu fokus di sana," katanya.
Saiful menyebutkan sebanyak 44 persen masyarakat menyatakan bisa menoleransi politik uang sebagai hal yang wajar. Sementara itu, 56 persen lainnya mengaku tidak dapat menerima cara tersebut dalam meminta suara rakyat.