Soal bocoran dokumen DKP, Franz Magnis kritik TNI
Rakyat berhak tahu tentang masa lalu calon pemimpin. Tak perlu ditutupi.
Pagi ini, Senin 16 Juni 2014, akademisi dan pengamat etika politik Prof Dr Franz Magnis Suseno , menulis di surat pembaca di Harian Kompas. Dengan judul "Patut Disesalkan," Franz Magnis mengomentari tentang perdebatan tentang bocoran Dewan Kehormatan Perwira (DKP) soal pemecatan Prabowo dari TNI.
Seperti diketahui, Panglima TNI telah menyatakan akan mengusut pembocor dokumen DKP itu. Alasannya, dokumen itu adalah dokumen rahasia. Sehingga seharusnya tidak bocor dan menyebar ke publik.
Namun, tulis Magnis, "yang patut disesalkan adalah pemerintah/TNI begitu lama berusaha menyembunyikan surat itu."
"Kami, para warga negara, berhak mengetahui sepenuhnya latar belakang ataupun masa lalu orang-orang yang menawarkan diri menjadi pemimpin tertinggi bangsa dan negara Indonesia. Masa lalu para capres dan cawapres harus transparan. Tak boleh ada tahap ataupun kejadian yang gelap karena disembunyikan."
Magnis kemudian melanjutkan suratnya: "Maka, bahwa pemerintah/TNI menyembunyikan surat itu, maaf, lagi-lagi merupakan tanda kesombongan sebuah elite yang menganggap diri lebih tinggi dan lebih berwenang dari rakyat biasa."
"Sudah waktunya," lanjut Magnis, "kurang dari sebulan sebelum pemilu presiden semua dokumen yang memuat fakta tentang masa lalu dua capres dan dua cawapres kita dibuka untuk umum. Kami berhak mengetahuinya. Adalah hak kami, dan bukan hak pemerintah/TNI, menentukan bagaimana kami menanggapi masa lalu ataupun fakta tentang masa lalu para calon penguasa kita itu. Jangan pemerintah/TNI memperbiarkan masyarakat dibiarkan memilih kucing dalam karung."
Seperti diberitakan sebelumnya, sejak Sabtu 7 Juni 2014, beredar surat rekomendasi pemecatan Prabowo Subianto di media sosial. Bak bola salju, dokumen itu beredar cepat. Dokumen itu di-retwett ribuan kali dan segera menghiasi pemberitaan media massa. Sempat terjadi pro-kontra tentang kesahihan isi dokumen.
Surat rekomendasi pemecatan Prabowo ini tertulis dalam Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor KEP/03/VIII/1998/DKP. Surat tersebut dibuat dan ditandatangani pada 21 Agustus 1998 oleh Ketua Dewan Kehormatan Perwira Jenderal TNI Subagyo Hadi Siswoyo, Sekretaris Letjen TNI Djamari Chaniago, Wakil Ketua Letjen TNI Fahrul Razi, anggota Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, dan anggota Letjen Yusuf Kartanegara.
Keputusannya sangat jelas memberhentikan Prabowo dan tugas keprajuritan. "Perwira Terperiksa atas nama Letnan Jenderal Prabowo Subianto disarankan dijatuhkan hukum administrasi berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan," demikian bagian kesimpulan dari surat empat halaman tersebut.
Dewan Kehormatan Perwira dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pangab Nomor Sekp/533/P/VII/1998 tanggal 14 Juli 1998. Sebelum mengambil keputusan ini, Dewan Kehormatan Perwira telah bersidang pada tanggal 10, 12, dan 18 Agustus 1998 dengan terperiksa Letnan Jenderal TNI Prabowo Subianto sebagai Danjen Kopassus.
Berdasar pemeriksaan Dewan Kehormatan Perwira, Prabowo telah memerintahkan anggota Satgas Mawar, Satgas Merpati, melalui Kolonel Inf Chairawan (Dan Grup-4) dan Mayor Inf Bambang Kristiono untuk melakukan pengungkapan, penangkapan, dan penahanan aktivis yang mengakibatkan Andi Arief, Aan Rusdianto, Mugiyanto, Nezar Patria, Haryanto Taslam, Rahardjo Waluyojati, Faisol Reza, Pius Lustrilanang, dan Desmond Junaidi Mahesa menjadi korban penculikan.
Prabowo dinilai tidak mencerminkan profesionalisme dalam pengambilan keputusan, juga tidak mencerminkan tanggung jawab komandan terhadap tugas dan prajurit. Prabowo juga dinilai mengabaikan etika perwira, sumpah prajurit, dan Sapta Marga.
Kesimpulannya, Dewan Kehormatan Perwira menyebut Prabowo melanggar pidana yakni: ketidakpatuhan (Pasal 103 KUHPM), dan memerintah Dan Grup 4/Sandha Kopassus dan anggota Satgas Merpati serta Satgas Mawar untuk melakukan perampasan kemerdekaan orang lain (Pasal 55 (1) ke 2 j Pasal 333 KUHP) dan penculikan Pasal 55 (1) ke 2 jo Pasal 328 KUHP).
Sementara, mantan anggota Dewan Kehormatan Perwira yang menyidangkan Prabowo Subianto pada 24 Juli 1998, Fachrul Razi, membenarkan adanya surat rahasia berisi rekomendasi pemecatan Prabowo .
"Tanda tangan dan bunyi keputusannya valid," kata Fachrul melalui pesan pendek kepada tempo.co, Senin malam, 9 Juni 2014.
Fachrul pun menyindir bekas komandan Kopassus yang maju sebagai calon presiden itu. Katanya, dengan wewenang di level Kopassus saja Prabowo bisa melakukan beberapa tindakan prajurit yang tak layak. "Bagaimana kalau jadi presiden?"
Surat rekomendasi pemecatan Prabowo diteken Ketua Dewan Kehormatan Perwira, Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo, dan enam anggota berpangkat letnan jenderal, yaitu Djamari Chaniago, Fachrul, Yusuf Kartanegara, Agum Gumelar, Arie J. Kumaat, serta Susilo Bambang Yudhoyono. (skj)