Suara etnis Tionghoa bisa jadi penentu di Pilkada Medan
Warga Tionghoa ada di posisi tiga besar di Kota Medan.
Dua pasangan calon wali kota dan calon wakil wali kota Medan masih sibuk kampanye menjelang Pilkada serentak, Rabu (9/12). Namun, warga tak begitu antusias dengan pesta demokrasi ini.
"Kalau mau jujur, tidak begitu terasa gaungnya. Kita warga juga merasa tidak ada untungnya memilih, karena siapa pun yang dipilih, kita terus begini saja. Yang sibuk ya TS-TS-nya (tim sukses), karena mereka kan ada kepentingan," kata Budi Hermansyah, warga Teladan, Medan, Selasa (1/12).
Hal senada disampaikan Fakhrudin Pohan, warga Medan Polonia. "Menurutku, kedua pasangan yang ikut tidak meyakinkan," kata Fakhrudin.
Pemilihan kepala daerah Kota Medan hanya diikuti dua pasang calon. Yaitu pasangan nomor urut 1, Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution, dan pasangan nomor urut 2, Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma. Mereka akan memperebutkan 1.985.096 suara pemilih terdata dalam Daftar Pemilih Tetap.
Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution diusung PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKS, PKPI, PAN, dan PBB. Sementara itu, Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma didukung Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.
Dzulmi Eldin merupakan calon petahana, karena sebelumnya dia menjabat Wakil Wali Kota. Dia kemudian menjadi Wali Kota Medan, menggantikan Rahudman Harahap yang terjerat kasus korupsi. Sementara Ramadhan Pohan adalah mantan anggota DPR yang juga elite Partai Demokrat.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Arifin Saleh Siregar berpandangan, kurangnya gaung pilkada ini juga dipicu pilihan yang tersedia. "Kedua pasangan yang bertarung pada Pilkada Medan memang tidak meyakinkan dan tidak teruji, baik dari rekam jejak maupun kampanye-kampanyenya," kata Arifin.
Dua pilihan dinilai tidak meyakinkan ini diperkirakan akan semakin memperbesar jumlah warga yang tidak memilih alias golput. "Kelas menengah ke atas di Kota Medan akan memilih untuk tidak memilih. Kalangan ini sangat rasional dan tidak terpengaruh dengan money politic. Kelompok ini banyak di Medan," ujar Arifin.
Pada pemilu legislatif lalu, partisipasi pemilih di seluruh Kota Medan hanya berkisar 51,83 persen. Sementara pada Pilkada 2010, hanya 36,23 persen pemilih yang menggunakan hak suaranya.
Begitupun, masing-masing pasangan calon memiliki senjata pamungkas memenangkan Pilkada Kota Medan. Petahana tetap berpeluang karena memiliki masa sosialisasi yang sangat panjang. Mesin birokrasi pun hampir dipastikan relatif akan berpihak dan cenderung jadi mesin politik.
Sementara pasangan penantangnya bukan tanpa peluang. Calon wakil dari kalangan Tionghoa memberi keuntungan tersendiri.
"Masyarakat Tionghoa bisa jadi penentu. Seperti pengalaman pilkada atau pemilu sebelumnya, warga Tionghoa akan berbondong-bondong memilih calon yang mereka yakini bisa mewakili kepentingannya. Terlebih, etnis Tionghoa di Medan berada di posisi tiga besar, setelah Jawa dan Melayu," ucap Arifin.
Maka dari itu, Arifin memperkirakan isu agama, suku, dan ras akan terus digulirkan hingga hari pencoblosan. "Tidak terang-terangan, pasti disuarakan mulut ke mulut," lanjut Arifin.