Triple Helix Hatta Rajasa dinilai ide usang
Penambahan dana penelitian sebesar Rp 10 triliun juga dianggap terlalu kecil.
Dalam debat cawapres di Jakarta, Minggu 29 Juni 2014, Hatta Rajasa mengatakan pengembangan lewat triple helix perlu diwujudkan. Triple helix adalah kerja sama lembaga riset dan perguruan tinggi, swasta, dan pemerintah. Selain itu, dia berencana meningkatkan anggaran riset. "Kami berkomitmen menambah Rp 10 triliun untuk riset," kata dia.
Namun menurut Deputi Bidang Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kementerian Riset dan Teknologi Freddy Permana Zen, konsep Triple Helix yang dikemukakan calon wakil presiden nomor satu urut bukan hal baru.
Menurut Freddy, konsep tersebut sama dengan sinergitas ABG, yakni Academician, Bussiness, dan Government. "Konsep ini sudah lama, mengadopsi dari asing," kata Freddy dikutip tempo.co, Senin 30 Juni 2014.
Konsep ini tak kunjung sukses diterapkan di Indonesia, karena belum optimalnya belanja sains dan teknologi. Dana program-program penelitian dan pengembangan yang dicanangkan tidak berjalan maksimal.
Ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk membangun Triple Helix dengan peran masing-masing. Freddy menjelaskan pemerintah berperan sebagai pembuat regulasi dan melaksanakan sosialisasi. Akademisi bertugas membuat penelitian dan mengeluarkan produk inovasi terbarunya. Adapun industri atau pebisnis berperan untuk menyokong dana. Sayangnya, peran dari industri sangat kecil sehingga Triple Helix yang sudah dicanangkan Komite Inovasi Nasional tidak berjalan. Freddy menunjuk badan usaha milik negara atau swasta yang potensial menjadi pendonor.
Selain itu, keinginan Hatta untuk menambah anggaran riset sebesar Rp 10 triliun masih kurang. Per tahun minimal dibutuhkan Rp 100 triliun untuk mengoptimalkan riset khususnya di bidang teknologi. "Rp 10 triliun untuk 5 tahun sedikit banget. Itu sama dengan anggaran per tahun untuk LIPI, BPPT, BATAN yang dijadikan satu yakni gaji, sarana dan penelitian. Semestinya Rp 100 triliun per tahun untuk seluruh Indonesia," papar Kepala Pusat Penelitian Informatika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogie Sudjatmiko Eko Tjahjono yang dikutip detik.com, Senin 30 Juni 2014.
Anggaran Rp 100 triliun itu menurut dia sesuai dengan niat pemerintah menyisihkan 1 persen APBN untuk ristek. Dibandingkan dengan negara lain, anggaran tersebut masih kurang. "Kita sekarang 0.08 persen jadi masih jauh dibanding negara lain yang mengalokasikan 2 persen dari total anggaran negaranya," papar dia.
Selain penambahan anggaran, pemerintah harus berani menjamin hidup para peneliti. Banyak peneliti Indonesia menurut Bogie memilih menetap di luar negeri karena perhatian pemerintah yang minim. Saat ini total peneliti di Indonesia sebut Bogie kurang dari 30 ribu orang yang terdiri dari sekitar 8 ribu peneliti dan 20 ribu dosen yang melakukan penelitian. "Idealnya, jumlah peneliti itu 3 ribu peneliti per satu juta penduduk. Indonesia nggak sampai 100 orang per satu juta. Jadi kecil sekali," imbuhnya. "Kita butuh 200 ribu peneliti," tambah dia. (skj)