Kisah Hidup Agha Hovsep Hovhanes Amirkhan, Crazy Rich Pertama Semarang Sebelum Raja Gula Oei Tiong Ham
Jejak kejayaannya saat ini hampir hilang tak bersisa
Jejak kejayaannya saat ini hampir hilang tak bersisa.
Kisah Hidup Agha Hovsep Hovhanes Amirkhan, Crazy Rich Pertama Semarang Sebelum Raja Gula Oei Tiong Ham
Agha Hovsep Hovhanes Amirkhan lahir di Isfahan, Persia, pada tahun 1778 Masehi. Ia merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara pasangan Johannes Amirkhan dan Peiri.
Agha Hovsep merupakan cucu seorang pejuang yang berusaha membebaskan tanah Artsakh dari cengkeraman orang Azeri Turki. Sang kakek akhirnya mengungsi ke Persia dan mendapat perlindungan dari Nadir Shah, penguasa Persia saat itu.
-
Siapa Crazy Rich asal Medan? Sosok Crazy Rich asal Medan itu bernama Sukanto Tanoto.
-
Siapa yang disebut sebagai 'crazy rich' dari Banyuwangi? Siapa sebenarnya Dio Arli yang disebut sebagai salah satu 'crazy rich' dari Banyuwangi?
-
Siapa pemilik pertama pabrik kopi di Semarang? Pemilik pertamanya adalah Tan Tiong Ie.
-
Siapa yang jadi pemimpin pertama Semarang? Pangeran Made Pandan kemudian diangkat sebagai pemimpin daerah tersebut dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang I.
-
Siapa Crazy Rich Tulungagung yang sukses berbisnis rokok? Salah seorang crazy rich kelahiran Tulungagung ini punya kisah hidup yang inspiratif. Kesuksesannya menjadi pebisnis rokok tidak datang tiba-tiba. Ia pernah menjadi pembantu saat usianya masih belia.
-
Siapa pemilik pertama Warung Kopi Ake? Generasi pertama keluarga Wijaya bernama Abok, merupakan sosok perintis usaha jualan kopi yang tiba di Pulau Belitung sebagai imigran dari Tiongkok.
Sejak kecil Agha Hovsep telah dibekali gagasan untuk membebaskan tanah Artsakh. Hal inilah yang membuat Agha kecil dikirim orang tuanya ke Kalkuta, India, untuk mempelajari budaya Armenia, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan lainnya hingga usia 18 tahun.
Setelah lulus, ia bertolak dari India ke Filipina untuk menjadi seorang pedagang. Ia tidak menetap lama di Filipina karena persaingan dagang yang keras.
Dilansir dari kanal YouTube Tri Anaera Vloger, pada tahun 1808 Aga Hovsep melakukan pelayaran dari Kalkuta ke Semarang dengan menumpang kapal “De Tyger”. Saat itu usianya sudah menginjak 30 tahun.
Setiba di Semarang, ia bekerja keras mengumpulkan modal untuk membeli lahan pertanian. Hanya butuh beberapa tahun ia bisa mengumpulkan modal dan membeli lahan pertanian. Ia mempekerjakan para petani pribumi untuk mengelola lahan pertanian tersebut.
Umumnya, para pemilik perkebunan digambarkan memiliki perilaku yang kejam terhadap para pekerjanya. Namun hal itu tidak ada pada diri Agha Hovsep.
Seperti ditulis oleh Facebook Roemah Toea, setiap hari Agha Hovsep mengajak para pekerjanya untuk makan siang bersama di taman depan rumah.
Bahkan pernah pada suatu hari ia memberi para pekerjanya berbagai cinderamata seperti piring, sendok, garpu, dan pisau emas yang merupakan barang-barang mewah saat itu.
Selain mengelola pertanian, ia juga berdagang mutiara, permata, kapas, sutra, dan alat penggiling gula. Ia pun menjadi satu-satunya distributor opium di Semarang saat itu yang ia peroleh dari Pradesh, India.
Pada saat Inggris menjajah Hindia Belanda tahun 1811, Agha Hovsep menjadi pendonor logistik tentara Inggris waktu berperang. Atas peran pentingnya, ia mendapat hadiah beberapa bidang tanah di Partland Simongan.
Pada masa itu, keluarga Agha Hovsep Hovhanes Amirkhan merupakan keluarga terpandang di Semarang.
Semua anak perempuannya menikah dengan orang penting pada pemerintahan Hindia Belanda seperti Residen Van Langan, Residen Boudriot, dan Komandan KNIL Kroesen.
Bahkan atas nama menantunya, ia juga ikut ambil andil dalam pendirian De Javaasche Bank (kini Bank Indonesia).
Pada tahun 1822, Agha Hovsep kembali menjadi orang penting pada masa pemerintahan Belanda.
Ia memberi pinjaman kepada pemerintah Hindia Belanda uang sebesar 930.000 gulden untuk logistik dan pembayaran gaji para tentara Belanda yang akan bertempur di Perang Jawa melawan pasukan pribumi yang dipimpin Pangeran Diponegoro.
Namun pinjaman uang itu tidak pernah dilunasi pihak Pemerintahan Belanda sampai sekarang.
Pada tahun 1828, tanah Arstsakh, negeri kampung halaman Agha Hovsep, telah menjadi negara bagian Rusia yang merdeka.
Sepanjang hidupnya ia selalu khawatir tentang nasib negerinya, tentang anak-anak Arstakh yang tidak bisa bicara Bahasa Armenia, dan tentang pembebasan tanah Arstakh yang selalu menjadi impiannya.
Maka selama hidup, harta kekayaannya dikirim pula pada serdadu Armenia, Fadeya, yang berjuang untuk memerdekakan tanah Arstakh.
Beberapa bulan sebelum ia meninggal pada tahun 1835, Agha Hovsep jatuh sakit akibat kelelahan. Pada suatu malam di tengah sakitnya, ia memanggil putrinya, Anna Johannes Koresen, dan menyampaikan keinginannya yang terpendam sejak lahir.
Ia meninggal pada 25 Maret 1835 dan dimakamkan di puncak Bukit Johannesberg (sekarang Gunung Mlojo) di samping makam anak lelakinya, David.
David sendiri meninggal pada tanggal 14 Maret 1835. Ia merupakan putra sulung Agha Hovsep yang lahir pada tahun 1812 Masehi.
Selama hidup, ia bekerja sebagai seorang kapten kapal milik perusahaan ayahnya.
Sepeninggal Agha Hosvep, istri dan anak-anaknya pindah ke daerah Bodjongweg, Semarang. Hampir semua harta benda, peralatan pabrik, dan perkebunannya dijual. Beberapa warisan telah dibagikan pada para keturunannya yang telah berkeluarga.
Jejak Kejayaan Agha Hovsep yang Tersisa Kini
Kekayaan keluarga Agha Hovsep tidak bertahan hingga saat ini. Disebutkan bahwa kekayaan keluarga kaya raya itu habis karena salah satu anak lelakinya yang menghaburkan uang di Eropa dan meninggalkan utang yang menumpuk.
Untuk melunasi utang itu, pihak keluarga harus menjual tanah dan lahan perkebunan yang telah diwariskan oleh Agha Hovsep.
Pada tahun 1874 tanah perkebunan mereka yang terletak di Partland Simongan serta area pemakaman Agha Hovsep ikut dijual oleh keluarganya sendiri pada seorang Tionghoa di Semarang.
Syaratnya, tanah pemakaman di puncak Bukit Johannesberg tetap dipelihara oleh orang Tionghoa tersebut.
Namun nyatanya makam itu telah hilang tak berbekas. Hal itu pula yang terjadi pada sebuah makam Yahudi di Bukit Bergota Semarang.
Menurut cerita, semasa hidup Agha Hovsep lah yang membangun makam Yahudi itu.
Pada awal berdirinya, ada 33 makam di sana, namun kini hanya 9 makam Yahudi yang tersisa di tempat itu.
Saat ini, satu-satunya bangunan yang tersisa dari kejayaan Agha Hovsep Hovhanes Amirkhan adalah bangunan Landhuizen Partland Simongan. Kelak di kemudian hari, bangunan itu menjadi kediaman Oei Tjie Sien.
Bangunan itu kemudian diwariskan kepada anaknya, Oei Tiong Ham, yang kemudian menjadi Crazy Rich Legendaris Semarang dengan julukan “Si Raja Gula Asia”.